22.

30 22 1
                                    

Rasa tidak sabar ia rasakan sejak kemarin. Tanggal yang dijanjikan oleh sang ibu. Bulan kemarin mereka tidak sempat menghabiskan waktu bersama karena adanya pekerjaan di luar kota. Membuatnya harus menginap selama beberapa hari di rumah keluarga Adrian. Gadis itu bahkan sudah mencatat apa saja yang ingin ia lakukan bersama sang ibu sejak semalam.

Setelah memastikan penampilannya pada cermin di kamarnya, ia meraih tas lalu beranjak dari kamarnya. Kakinya melangkah menuju meja makan. Ia mengkerutkan keningnya.

Di sana sang Ibu tengah menyantap sarapannya, matanya sesekali fokus pada ponsel yang dipegangnya. Namun bukan itu saja yang membuatnya bingung. Baju yang dipakai sang ibu menunjukkan bahwa wanita itu akan berangkat ke kantornya.

"Hey, ayo sarapan." Felicia tersadar dari lamunannya. Ia duduk berhadapan dengan sang ibu. Matanya masih menatap wanita itu. "Mama sudah bicara pada Adrian. Mungkin nanti malam kamu harus menginap di sana lagi. Maaf." Kalimat itu terucap tanpa memandangnya. Mata wanita itu masih terfokus pada ponselnya.

Felicia tidak mengatakan apapun. Ia hanya mengambil sarapannya dan membawanya masuk ke kamarnya. Kecewa. Bagaimana mungkin sang ibu melupakan janjinya begitu saja?

Gadis itu mendengus kesal. Ia memilih duduk di pinggir jendela, matanya menatap pohon besar yang ada di halaman rumahnya. Sejak kejadian beberapa hari lalu, ia seolah menjauh dari lelaki itu.

Ia takut memberikan harapan pada diri sendiri. Ia tidak ingin mengharapkan sesuatu yang mustahil.

Saat ia mendapati lelaki itu berdiri di bawah pohon itu, harapan agar lelaki itu mengingat semua kenangan saat mereka bersama itu muncul. Namun api harapan yang masih kecil itu harus ia padamkan saat lelaki itu tidak mengatakan apapun. Ia pun tidak tahu apakah lelaki itu mengingat sesuatu atau tidak. Lelaki itu hanya pergi begitu saja. Meninggalkan dirinya dengan kebingungan.

"Hey, jika kamu berpikir untuk melompat, maka menyerahlah. Kurasa jendela itu sudah tidak dapat terbuka lagi." Suara berat dari sosok tetangganya itu terdengar. Jujur, ia tidak mengingat jika Adrian merupakan sosok yang begitu menyebalkan. Mengapa dulu ia sempat memberikan julukan The Second Praga untuknya?

"Ayo cepat kemasi barangmu."

Sudah cukup rasanya ia hanya duduk dan memperhatikan senior-seniornya itu bermain. Ia tidak menyangka jika Adrian justru langsung membawanya ke lapangan basket. Di sana, tetangganya asyik bermain dengan teman-temannya. Hanya beberapa yang ia kenal. Ah, hanya Janendra, Tian, dan Jeffano tepatnya.

Ia lalu mengeluarkan buku dan juga pensil dari dalam tasnya. Beruntung ia menaruhnya.

"Maaf untuk yang waktu itu." Ia menolehkan kepalanya. Sosok Janendra sudah terduduk di sebelahnya. Peluh membasahi wajahnya.

"Tidak apa." Bohong. Ia tak berani menatap lama sosok itu. Tangannya kembali melanjutkan aktifitasnya membuka lembar demi lembar bukunya. Matanya masih belum menemukan objek untuk digambarnya.

Janendra turut merasakan canggung. Terlebih saat gadis di sebelahnya memilih untuk kembali fokus pada bukunya.

Matanya membelalak saat ia melihat gambarnya pada salah satu halaman itu. Tangannya menahan gadis itu untuk membuka lebih lanjut lembaran bukunya.

"Kapan kamu menggambarnya?" Nada suaranya datar. Matanya menatap lurus ke arah Felicia.

***

Bandara pagi itu cukup ramai. Giana terus memperhatikan orang-orang yang mulai keluar dari pintu kedatangan. Mencari sosok Brian, lelaki yang ia tugaskan untuk mengikuti seseorang.

Brian merupakan salah satu stafnya. Lelaki itu sangat mengenal baik anaknya, Praga. Brian pernah ditugaskan untuk menjadi asisten Praga. Walaupun anak angkatnya belum menyelesaikan kuliahnya, kemampuan Praga tidak dapat dipandang sebelah mata. Kemampuan analisis lelaki itu patut diacungi jempol. Semua ide dan pendapat dari anaknya sangat membantunya. Giana bahkan sudah mempercayakan Praga untuk menjadi penerusnya.

"Bu Giana." Sapaan dari lelaki bertubuh tinggi dengan kacamata hitam itu dijawabnya dengan senyuman. Brian dan Praga hanya terpaut usia tiga tahun.

Giana sudah tidak sabar untuk mendengar langsung semua cerita Brian, karenanya ia memutuskan untuk datang langsung ke Bandara. Wanita itu lalu mengajak lelaki itu untuk duduk di dalam mobilnya. Ia tidak dapat membawa lelaki itu ke tempat terbuka. Takut akan keselamatannya dan juga stafnya.

"Maaf, selama mengikutinya, saya sama sekali tidak mendapatkan bukti." Kalimat yang terucap dari Brian membuatnya kehilangan harapan. Rasanya ia sudah mulai pasrah. "Namun, salah satu teman saya yang mengikuti Nadia mengatakan ia mendapatkan beberapa petunjuk."

===

Into : You will come again tomorrow!

Into : You [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang