3.

70 49 2
                                    

Sejak kali pertama Felicia mampu melihat sosok Janendra, banyak tanya yang muncul di kepalanya. Apa selama ini sosok itu selalu ada di sampingnya? Apa selama ini sosok itu sebenarnya memiliki wujud seperti manusia? Lalu, seperti apa wujud aslinya jika bukan hanya bayangan saja? Dari mana sosok itu berasal? Dan, mengapa ia menemaninya? Apakah ia mengenal Praga, kakaknya? Lalu, sebenarnya sejak kapan ia hadir?

Matanya masih fokus pada bayangan putih yang kini tengah terduduk di pinggir jendela kamarnya. Titik yang biasa ia gunakan untuk melukis langit malam dengan bintang-bintang yang ia imajinasikan sendiri.

Saat sosok itu mulai beranjak, Felicia dengan secepat mungkin mengalihkan perhatiannya pada buku yang sejak tadi diabaikannya. Ah, benar, ia harus mengerjakan tugas makalah minggu ini. Beruntung-menurutnya-ini merupakan tugas individu, bukan berkelompok.

"Hey, bisakah kamu membantuku?" Sedikit tersentak, Felicia lalu menolehkan kepalanya ke arah sosok itu. Masih sedikit canggung baginya untuk melihat sosok yang wajahnya tampak samar, bahkan tidak terlihat.

"Bisakah kamu menyalakan ponselmu? Aku ingin menonton satu drama yang tidak sempat kulanjutkan." lirihnya. Apa ini? Apa sosok itu berasal dari dunia ini? Dari mana ia tahu tentang drama?

"Ah, waktu itu saat tengah bosan menunggumu kelas, aku tidak sengaja menontonnya dengan mahasiswa yang lain." Janendra sepertinya sangat peka dengan raut bingung gadis di hadapannya.

Gadis itu tersenyum. Ia lalu mengambil ponselnya yang masih tersimpan di dalam tasnya, lalu menyalakan drama yang dimaksud oleh sosok bayangan itu.

"Kamu menyukai Rom-Com?" nada tidak percaya terdengar jelas saat gadis itu mengutarakan pertanyaannya. Untung saja Janendra yang mulai fokus pada tontonan di depannya tidak menyadarinya dan hanya menganggukkan kepalanya.

Dua keanehan yang ia temukan dari sosok itu. Mungkin, jika Janendra adalah manusia, maka ia akan sangat senang berteman dengannya. Sifatnya yang banyak bicara sangat membantunya untuk tidak mengingat kakaknya.

"Jika nanti wujudku bisa kamu lihat, maukah membuat sketsa wajahku juga?" Felicia menghentikan kegiatannya. Sebuah pertanyaan yang cukup tiba-tiba. Ia memandang sosok tembus pandang itu lalu kembali pada bukunya. Ah, ia tidak sadar jika sedari tadi ia justru fokus menggambar sketsa kakaknya.

"Apa kamu mengingat sesuatu?" Bukannya menjawab, gadis itu justru kembali melemparkan pertanyaan pada lawan bicaranya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Apa kamu mengingat sesuatu?" Bukannya menjawab, gadis itu justru kembali melemparkan pertanyaan pada lawan bicaranya.

"Aku hanya mengingat gelap, asap, dan nama Janendra yang terus terngiang sebelum aku terduduk di kasur ini."

Bingung sudah menyelimuti lelaki itu sejak kali pertama bertemu Felicia. Tentang siapa dirinya. Tentang makhluk apa dirinya. Juga tentang alasan mengapa ia hadir di kamar milik gadis itu. Awalnya ia mencoba untuk pergi dari sana, namun sulit. Ia akan merasakan sesak saat mulai berjauhan dengan Felicia. Sesuatu pada gadis itu, membuatnya terikat.

***

"Ah, tentu saja dia akan suka! Tenang, adikku selalu menghargai pemberian siapapun."

Janendra memegang erat kepalanya, rasa sakit yang menjalar membuatnya gila. Siapa itu? Pemberian apa? Siapa adiknya? Pertanyaan demi pertanyaan bergantian mengisi kepalanya yang tengah sakit.

Sebuah gerakan yang pelan terasa di atas kepalanya. Tidak, benda itu tidak menyentuhnya, hanya mengayun lembut di dekat kepalanya. Perlahan, sakit yang dirasakan mulai menghilang. Tergantikan oleh nyaman yang benda itu berikan.

"Dulu, saat Kak Praga pusing, ia selalu memintaku untuk mengelus kepalanya." Ah, gadis itu. "Tapi karena aku tidak bisa mengelus kepalamu langsung, apakah ini terasa?"

Janendra hanya dapat menjawab dengan anggukan. Untuk sejenak lupa bahwa dirinya bukan manusia. Yang ia inginkan hanya terus merasakan lembut tangan gadis ini yang mengayun seolah mengelus puncak kepalanya.

"Aku...seperti mendengar suara." lirihnya. "Entah imajinasiku atau aku perlahan mengingat diriku sebelumnya."

"Aku ingat tengah membawa sebuah kotak kecil berwarna putih. Lalu memperlihatkannya pada seseorang. Kurasa isi kotak itu kalung. Tapi, aku tidak mengingat siapa yang kutunjukkan. Hanya, dia memiliki seorang adik." Suaranya lemah. Janendra masih menundukkan kepalanya. Memudahkan Felicia untuk terus mengayunkan tangannya.

"Tidak apa. Aku yakin, perlahan kamu dapat mengingatnya lagi." Mungkin Janendra salah, tapi ia merasa seperti mendengar sebuah keyakinan dalam kalimat itu. Ya, jika Felicia yakin, maka setidaknya dirinya juga harus memiliki keyakinan itu.

"Ah, mau ke suatu tempat? Terakhir kali aku datang ke sana saat melepas Kak Praga setahun lalu." Tangan gadis itu dengan sigap bergerak untuk menggapai tangan sosok tembus pandang di sebelahnya. Lupa jika sosok itu, tidak dapat disentuhnya.

"M-maaf." lirihnya. "Entah mengapa, aku selalu mengingat Kak Praga dan membandingkannya denganmu. Kalian memiliki sifat yang cukup mirip. Mungkin jika Kak Praga masih disini, kalian benar akan jadi teman baik." lanjutnya.

Melihat gadis yang kini tengah berdiri di depannya memancarkan kesedihan, ia lalu ikut berdiri. "Let's go!" ujarnya lalu mendahului Felicia berjalan menuju pintu.

Perjalanan mereka tempuh dengan bus. Ya, Felicia bersyukur karena ia tidak perlu menghabiskan uang jajannya untuk perjalanan dengan taksi.

Bus itu mengantarkan mereka pada titik terakhirnya. Halte yang berada di sekitar pantai.

Dulu, kakaknya selalu mengajaknya kemari. Setidaknya setahun sekali. Ah, benar. Kali pertama kakaknya membawanya ke tempat ini adalah saat ia mendapatkan nilai jelek pada ujiannya dan berakhir dengan amarah sang Ibu.

"Kurasa semua orang punya titik hebatnya masing-masing."

Kalimat itu. Kalimat yang ingin Ibunya tahu. Namun sayang, kalimat itu menjadi kalimat yang hanya dapat didengar oleh Felicia juga deburan ombak yang menyapa pasir pantai saat itu.

***

Into : You will continue its journey!

ehehe, so what's on your mind?

Into : You [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang