29.

24 19 2
                                    

Sirine polisi terdengar dari kejauhan. Membuat panik sosok yang tengah asyik menikmati udara dari balkon kamar hotelnya. Setelah mendapat informasi dari salah satu orang kepercayaannya, ia tahu, siapa sasaran polisi-polisi itu.

Tangannya dengan segera membereskan barang-barangnya. Namun terlambat, saat pintu kamar hotelnya terbuka, beberapa polisi sudah berjajar, bersiap untuk membawanya ke balik jeruji.

Lelaki itu memberontak. Berteriak agar dilepaskan tangannya dari belenggu besi yang ia peroleh begitu pintu terbuka.

Dari kejauhan, Rama menonton dengan senyum di bibirnya. Ia beruntung dapat membuat lelaki itu menginap lebih lama di hotelnya. Membuat rencana yang dibuat oleh istrinya juga Giana dapat berjalan.

Sebelumnya, ia hampir menyetujui perjanjian kerja sama dengan perusahaan milik keluarga Prayoga. Beruntung Kiara saat itu menunjukkan rekaman cctv itu padanya. Rama lalu mengulur waktu agar lelaki itu dapat tinggal di kamar hotelnya. Sejujurnya ia tidak menyangka lelaki itu akan termakan dengan janji palsunya untuk kerja sama.

Namun ternyata, Nilam memang semudah itu untuk dikelabui.

Rama lalu menelepon Kiara. Menyampaikan informasi pada istrinya. Rasanya puas saat melihat dalang dibalik kecelakaan yang dialami anaknya, akhirnya mendapatkan hukuman yang seharusnya. Walaupun tidak ada hukuman yang setimpal atas hilangnya nyawa Praga yang juga merupakan korban.

***

Berita tentang tertangkapnya pewaris keluarga Prayoga sudah tersiar di setiap stasiun televisi. Walaupun sudah mendengar semuanya dari Janendra semalam, ia masih tidak percaya. Terlebih dengan fakta bahwa Praga bukan kakak kandungnya.

Selama bertahun-tahun, ia hanya tahu sosok Praga, adalah kakak kandungnya.

Sebuah tangan kekar membawanya ke dalam pelukan. Di sana, ia menangis. Menumpahkan semuanya. Lega, kesal, marah, juga rindu.

"Sstt.. masih ada aku." ujar Janendra. Tangannya dengan lembut mengelus surai sang puan.

Nyaman yang mereka rasakan saat merengkuh tubuh masing-masing harus berhenti dengan suara milik makhluk berbulu putih.

Zee yang tadi duduk di lantai, melompat mendekati mereka. Suaranya membuat Felicia dan Janendra melepaskan pelukannya. Zee lalu duduk di pangkuan sang gadis. Seolah mengatakan bahwa ia pun ada di sana.

"Mau aku ceritakan sesuatu? Sebenarnya ini rahasia, namun kurasa Praga tidak keberatan." Felicia menatap Janendra. Menarik, pikirnya. Ia pun ingin tahu bagaimana kakaknya di mata orang lain.

"Aku lupa bagaimana awalnya, namun yang pasti saat itu Praga sudah tau tentang aku dan Nadia. Praga lalu mengirimiku fotomu, mengatakan bahwa jika aku denganmu, maka ia tidak apa." Tangan Janendra turut mengelus bulu lembut Zee yang kini semakin nyaman di pangkuan Felicia.

"Ah, aku ingat saat kamu mengiriminya video, tentang betapa bosannya kamu di rumah, ia mengirimi video itu padaku. Agar aku suka menyukaimu, katanya." Janendra terkekeh mengingat tingkah sahabatnya.

"Dia sangat menyayangimu. Walaupun ia berkata bahwa ia tidak apa jika aku yang bersamamu, namun setelahnya ia juga mengancamku."

"Praga bilang, ia akan membunuhku jika sekali saja aku melukaimu."

"Hey, bisakah aku menjadi adiknya Praga juga?" Pertanyaan Janendra itu membuat Felicia memukul lengannya.

"Tidak! Hanya aku adiknya Kak Praga."

"Ayolah! Berbagilah denganku!"

Dari lantai atas, Adrian memperhatikan kedua adik tingkatnya. Sudah lama ia tahu bahwa Praga adalah anak angkat keluarga Brahmantya. Sedikit rasa sesal yang ia miliki saat mengetahui kejadian yang merenggut nyawa adik tingkatnya itu terjadi saat ia berada jauh dari mereka.

Namun saat Tian datang ke rumahnya dan menjelaskan semuanya. Setidaknya ia bersyukur, semuanya akan berakhir. Benar 'kan?

Melihat betapa tulusnya tatapan Felicia dan Janendra, membuatnya turut mendoakan kebahagiaan mereka.

Tian sedari tadi belum keluar dari kamarnya. Ia terlalu sibuk menghubungi Jeffano. Namun sayang, panggilan itu sejak semalam tidak terhubung.

Ia tidak bisa menunggu lagi. Tangannya meraih kunci mobilnya, lalu berjalan keluar dari kamar.

"Kemana?" tanya Adrian yang melihat raut kekhawatiran dari sahabatnya.

"Jeffano, sama sekali tidak dapat dihubungi."

Adrian memberikan isyarat pada Tian untuk menunggu, sementara ia menghubungi Giana.

***

Kantor polisi sangat kacau pagi itu. Setelah tertangkapnya Nilam, Nadia benar-benar menjadi sasaran empuk untuk tangan sang ibu. Kata-kata menyakitkan keluar dari mulut itu, seolah tidak menyadari sorot mata yang tertuju padanya.

Jeffano memasang badannya. Menjadikan punggungnya pelindung untuk Nadia. Gadis itu menangis dalam diamnya.

"Cukup!" Salah satu polisi yang sudah gerah dengan perilaku dari Lani Prayoga. Wanita itu datang dengan wajah geram, lalu terus memukul bahkan menarik rambut anaknya.

"Bodoh! Bagaimana bisa kamu menghancurkan keluargamu sendiri!" Wanita itu tidak mau berhenti.

"Lihat kakakmu! Ia terancam hukuman karena ulahmu, dasar bodoh!" lanjutnya.

Mulut wanita itu sangat berduri.

"Kak Nilam ada di sana karena perbuatannya sendiri. Berhenti melindunginya, Ma!" Nadia akhirnya bicara. Sudah cukup diamnya.

"Justru ucapan-ucapan Mama dan Papa yang membuat kami seperti ini. Penuh kebencian." Mata gadis itu mulai menatap lawan bicaranya.

"Aku dan Kak Nilam hanya butuh pengakuan dari kalian. Namun yang kalian berikan justru kebencian!"

Kiara yang baru saja datang bersama Giana, berjalan melewati Lani. Wanita itu memeluk erat Nadia. Mencoba menenangkan gadis itu. Rasanya ia juga turut sakit atas apa yang diungkapkan oleh Lani.

"Terima kasih. Terima kasih sudah memberanikan dirimu." bisik Kiara sembari terus menepuk pelan pundak Nadia. Mereka menangis bersama di sana.

===

Into : You will come again tomorrow!

Into : You [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang