19.

30 23 1
                                    

"Zee! Jangan nakal!" Felicia menyesal membawa Zee ke rumah Janendra. Niat membuat kucingnya akrab dengan Macan, berakhir dengan Zee yang terus menjauh. Saat kucing kecil itu mendekat, Zee justru mendesis.

Pada akhirnya, Felicia harus mengamankan kucingnya di pelukannya, begitu juga dengan Macan yang harus ditahan oleh Janendra. Anak kucing itu terlalu penasaran.

"Maaf." Felicia tentu merasa tidak enak. Mempertemukan dua kucing itu adalah idenya. Ia pikir, jika Macan dan Zee dapat berteman baik, ia akan membawa Macan pulang.

Janendra tentu tidak keberatan. Ia yang tadinya bukan penggemar kucing justru merasa senang melihat tingkah dari Macan setiap pagi.

"Ah, jika kau tidak keberatan, boleh menemaniku untuk pergi membeli makanan Macan? Kurasa yang kau berikan tinggal sedikit." Janendra menggaruk tengkuk belakangnya.

Saat gadis di hadapannya mengangguk setuju, tanpa sengaja ia melompat kesenangan. Membuat Macan yang tadi berada di pangkuannya terjatuh pada sofa.

***

Tangannya gemetaran. Keringat dingin keluar dari dahinya. Udara rasanya begitu pengap saat kakaknya turut duduk di meja makan bersamanya. Jika saja sang Ibu tidak memaksanya, ia lebih memilih makan di kamarnya, atau tidak makan pun ia kuat. Lelaki di hadapannya itu selalu membuat memori yang ingin dihapusnya terus kembali.

"Kapan kakak pulang?" lirihnya. Kepalanya masih tertunduk. Makanan yang ada di depannya masih belum tersentuh.

"Baru saja." jawab lelaki itu sembari mengunyah makanannya. Saat menyadari sang adik masih meletakkan tangannya di bawah meja, ia menghentikan aktifitasnya. Matanya menatap ke arah lawan bicaranya. "Kenapa?"

Nadia hanya mampu menggelengkan kepalanya. Nada suara yang lembut itu terdengar mengintimidasinya, pun dengan suara ketukan garpu dan sendok yang berhenti. Keluarganya memandangnya.

Gadis itu lalu memilih berdiri. "Maaf, tapi aku tidak nafsu makan malam ini. Selamat malam, Pa, Ma, Kak." ujarnya sebelum meninggalkan meja makan. Suaranya bergetar.

Gadis itu lalu duduk pada meja belajarnya. Membuka satu buku yang ada di hadapannya. Di sana, terselip foto ia dan Praga saat menjadi mahasiswa baru. Ia merindukan senyum lelaki itu.

***

Janendra berulang kali mengecek ponselnya. Menanti kabar dari gadis yang telah membuat janji padanya. Matanya sesekali melihat ke arah gerbang kampusnya. Mereka berjanji untuk bertemu pukul tiga sore, di depan kampusnya. Apa dosennya sengaja mengulur waktu, pikirnya.

"Janendra!" Nadia, gadis itu melambaikan tangannya dari arah cafe. Kaki jenjang gadis itu berlari menghampirinya. Aroma manis tercium saat gadis itu sudah berhadapan dengannya.

"Apa kamu bolos lagi?" Pertanyaan itu terjawab dengan sebuah senyuman. Masih manis. Gadis itu tidak berubah, pikirnya. Masih sama. Hanya perasaannya yang berubah. "Apa kamu tidak berniat untuk lulus, huh?"

"Kita dapat lulus bersama, nanti." Jawaban itu mengingatkannya pada janji yang ia buat dulu. Lulus bersama. Namun nyatanya, sahabatnya itu tidak akan pernah lulus. Sahabatnya, sudah kehabisan waktu.

Felicia yang baru saja sampai di depan gerbang kampusnya hanya mampu melihat interaksi itu dari kejauhan. Cara lelaki itu berbincang dengan lawan bicaranya menunjukkan betapa dekatnya mereka. Gadis itu bahkan menyaksikan Janendra yang melepaskan topinya untuk gadis itu.

Ragu. Ia takut akan menghancurkan momen kebersamaan mereka jika menghampiri. Saat ia hendak berjalan ke arah lain, suara Janendra yang memanggilnya membuatnya membatu.

"Apa kamu tidak melihatku di sana?" Lelaki itu kini berada di belakangnya. "Ayo! Apa kamu sudah makan siang tadi?"

Tidak ada jawaban.

"Ah, apa kamu lelah? Haruskah kita mengganti jadwalnya?" Pertanyaan demi pertanyaan keluar dari mulut Janendra. Aneh. Ia merasa seperti telah membuat kesalahan pada gadis itu.

"Maaf. Tapi, aku lapar. Ayo kita makan dulu!" Tangan kekar milik Janendra dengan beraninya menggenggam erat tangan mungil Felicia. Membuat gadis itu tidak punya pilihan lain selain mengikuti langkah kakinya.

Gadis itu pikir, tempat makan yang dipilih oleh Janendra berada di area kampus. Namun, mereka kini berada di halte bus. Tanpa ada kata yang terucap. Namun jari mereka masih bertautan. Sunyi. Tapi tidak menyiksa keduanya.

"Maaf." Sunyi itu dipecahkan oleh Felicia.

"Mengapa kamu sering meminta maaf? Aku bahkan tidak menemukan letak kesalahanmu."

===

Into : You will come again tomorrow!

Into : You [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang