23.

31 23 0
                                    

Mereka kembali ke rumah kediaman Felicia. Setelah mendapat izin dari Adrian untuk membawa gadis itu pergi, Janendra membawa gadis itu keluar. Banyak yang ingin ia tanyakan pada gadis itu. Terlebih setelah banyak hal aneh yang ia alami.

"Apa kamu percaya pada arwah?" Suara Felicia menjadi awal terpecahnya keheningan mereka. Sejak Janendra mengajak gadis itu pergi, tidak ada yang mulai untuk bicara. Mereka asyik tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Janendra berpikir tentang semua hal aneh yang ada. Sedangkan, Felicia berpikir tentang bagaimana ia menjelaskan semua pada lelaki itu.

"Jujur saja, aku pun tidak tahu mengapa dan sejak kapan. Namun, sekitar satu tahun setelah kecelakaan itu, aku mulai mendengar suara tanpa wujud." Felicia terus menundukkan kepalanya. Mengumpulkan semua keberanian juga memilih kata-kata yang harus ia keluarkan.

"Saat itu, kamu hanya mengingat namamu. Janendra Giovano." Mata Janendra terfokus pada gadis di sebelahnya. Tangannya lalu menarik gadis itu untuk duduk di rerumputan. Rasanya cerita ini akan panjang, pikirnya. "Perlahan, aku mulai dapat melihat bayangan, hingga sosok tembus pandang dirimu."

"Lalu bagaimana dengan gambar itu?"

"Ah, saat itu aku berjanji akan membuatkannya. Saat itu, aku masih belum dapat melihat sosokmu. Hanya suara."

"Ah, begitu."

"Saat itu pun, kamu tidak mengingat Kak Praga. Lalu aku menggali di sini untuk mengeluarkan kotak yang berisi surat-surat ku dan Kak Praga untuk membantumu mengingatnya." Sedikit kekehan keluar dari bibir Felicia. Ia ingat saat itu ia menggali tanah itu sambil terus menangis.

"Kamu terlihat lucu saat itu." Felicia menolehkan kepalanya. Ucapan dari Janendra membuatnya bingung. Ia seperti mengingatnya.

"Apa kamu mengingatnya?"

"Tidak terlalu." Kini Janendra yang mengalihkan pandanhannya. "Ada beberapa ingatan yang kurasa cukup aneh, dan ada kamu di setiap ingatan itu." lanjutnya lagi.

"Maaf. Kurasa, jika aku yang hanya mengingatnya, kamu akan dapat melanjutkan kehidupanmu lagi. Saat sebelum kecelakaan itu terjadi."

***

Adrian dibuat bingung dengan dua temannya, Nadia dan  Jeffano. Keduanya menolak berbicara. Padahal bulan kemarin, mereka baru saja merayakan hari jadi.

Beberapa hari lalu, Jeffano memang sempat bercerita tentang gadisnya yang nampak menyembunyikan sesuatu. Lelaki itu memang sudah menjalin hubungan selama dua tahun, namun tidak banyak yang Jeffano tahu perihal gadisnya.

Ia hanya tahu Nadia memiliki seorang kakak. Hanya itu. Jeffano bahkan sama sekali tidak pernah menjemput gadisnya tepat di depan pintu rumahnya. Gadis itu selalu memilih halte bus di daerah rumahnya untuk menjadi tempat pertemuan mereka. Saat Jeffano mengantar gadisnya pun, Nadia memilih halte yang sama.

Namun terlepas dari semuanya, Jeffano sangat menyayangi gadisnya. Rasanya lelaki itu sudah terlalu dibutakan. Menurutnya, Nadia adalah gadis yang sangat hangat. Kali pertama Jeffano melihat Nadia adalah saat gadis itu tertawa bersama Praga dan Janendra, saat mereka tengah mengerjakan tugas, layaknya mahasiswa kebanyakan. Namun yang membuatnya mulai memfokuskan perhatiannya pada gadis itu, saat ia menjelaskan semua dengan detail. Debat antara Nadia dan Praga saat itu membuatnya menajamkan telinga. Semua opini gadis itu cukup masuk akal, pikirnya.

"Lalu, apa yang membuat kalian bertengkar?" Adrian menghela nafasnya.

"Aku ingin bertemu dengan orang tuanya." lirih Jeffano.  Ia sangat ingin memperkenalkan gadisnya itu pada keluarganya. Ia pun ingin diperkenalkan pada keluarga Nadia. "Dua tahun bukan waktu yang sebentar. Tahun depan aku akan wisuda."

Nadia menengadahkan kepalanya. Ia paham.

"Maaf. Aku belum bisa."

"Jeff, memangnya kenapa jika wisuda? Kalian masih bisa bertemu, bukan?" Adrian mencoba menengahi. Kali ini ia berharap hadirnya sosok Tian untuk membantunya.

"Apa kamu tidak percaya padaku?" Netra Jeffano masih fokus pada Nadia. Ada rasa sesak di dada mereka saat kalimat itu terucap. "Jika selama dua tahun kamu belum mempercayaiku, bukankah itu keterlaluan?"

Adrian rasanya ingin menyerah. Bagaimana bisa ia berada di tengah mereka saat ia saja tidak memiliki kekasih? Sebuah langkah yang salah yang diambil oleh Jeffano.

"Kalau begitu. Ayo kita sudahi saja."

***

Giana terduduk di depan gundukan tanah yang ditanami rumput hijau. Nama Praga Brahmantya tertulis pada nisan. Makam itu tepat berada di sebelah makam suaminya.

Dadanya masih merasa sesak mengingat dua orang yang ia sayangi sudah berbeda alam dengannya.

"Maaf Mama jarang kemari. Tolong pahamilah." Tangannya perlahan menaburkan bunga pada kedua makam itu. "Mama berjanji. Mama akan menguak semuanya. Kamu harus mendapatkan keadilan, Praga."

===

Into : You will come again tomorrow!

Into : You [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang