Final II - Pertarungan

818 30 3
                                    

Dalam sekejap, tubuh Anganita memanjang dan membesar. Tanduk hitam mencuat dari dahinya, melengkung tajam seperti tanduk iblis purba. Sayap sobek-sobek menjulur dari punggungnya, mengepak, menebar angin yang berbau belerang. Pedang besar yang ia keluarkan bersinar kelam, dengan permukaan terukir mantra terlarang. Ketika iblis Anganita menggerakkan pedangnya, udara seolah terbelah, menimbulkan retakan tak kasatmata di langit sekitarnya.

"Kalian telah memilih mati, karena berdiri di pihak yang salah!" suaranya bergema, serak dan penuh ancaman. Ia mengangkat pedangnya tinggi, siap menebas bawahan Andre.

Saat pedang itu hendak menghujam, Pak Magnus, pemimpin divisi Ordo Sakral, muncul bersama beberapa ksatria suci. Cahaya putih dari jubahnya bagaikan tameng melawan kegelapan. Ia mengacungkan tongkat bertatahkan kristal, memancarkan lingkaran sihir yang langsung

Pertempuran semakin kacau. Iblis Kalikamaya, yang merasuki tubuh Anganita, mengamuk dengan kekuatan yang luar biasa. Tebasan pedangnya membelah tanah dan menimbulkan gelombang energi gelap yang menyapu seluruh area. Pak Magnus dan para ksatria suci terus membentuk pengepungan, tapi tak ada yang berhasil. Setiap mantra pengikat yang mereka lemparkan hancur seketika sebelum mencapai target. Seolah-olah Kalikamaya telah menjadi kekuatan yang tak terbendung.

bawahan Andre yang jelas tak akan mengikuti iblis itu juga ikut dalam pertempuran, namun situasi semakin genting. Para pemanah berusaha mencari celah di sela-sela kekacauan. Dengan cekatan, ia melesatkan beberapa panah sihir menuju tubuh Anganita, berharap bisa sedikit melukai sang iblis. Panah-panah itu terbang dengan kilat, tetapi Kalikamaya hanya tersenyum sinis. Dalam sekejap, ia mengibaskan sayapnya, menciptakan badai angin yang membuat panah-panah itu hancur di udara seperti abu.

"Tidak ada yang bisa mengalahkanku," kata Kalikamaya dengan suara bergemuruh, penuh rasa puas. "Kalian hanya membuang-buang waktu."

Aksa, yang sejak tadi berusaha sudah berusaha, mulai merasa kelelahan. Setiap langkah terasa berat, dan darah segar mengalir dari luka tikamannya. Setiap tarikan napas terasa menyakitkan, seakan paru-parunya terbakar. Ia tahu bahwa dirinya tak akan bertahan lebih lama lagi.

"Aku... tidak bisa lagi..." gumam Aksa lirih. Pandangannya mulai buram, tubuhnya bergetar karena kehilangan terlalu banyak darah. Lututnya bertekuk, dan ia jatuh berlutut di tanah yang dingin dan retak. Matanya menatap kosong ke depan, menyaksikan sosok Anganita yang ia tidak sempat bilang suka telah berubah menjadi iblis penuh kebencian. Ia merasa tak ada lagi jalan keluar.

"Kau tak bisa menyerah sekarang!" teriak Pak Magnus dari kejauhan, berusaha menyemangati. "Kau masih bisa melawannya, Aksa!"

Namun, suara itu terasa jauh, seperti bisikan di tengah badai. Aksa menunduk, kedua tangannya gemetar. "Ini akhirku..." pikirnya. Perlahan, matanya mulai tertutup, seolah menyerah pada nasibnya.

Namun, di detik-detik terakhir sebelum kesadarannya hilang, Aksa merasakan sesuatu yang aneh. Sebuah kehangatan tiba-tiba menjalar dari dadanya, menyebar ke seluruh tubuhnya, mengusir rasa sakit dan keputusasaan. Seakan ada kekuatan baru yang menyelimuti dirinya—bukan dari luar, melainkan dari dalam dirinya sendiri.

Aksa membuka matanya, dan ia melihat sesuatu yang tidak pernah diduga sebelumnya. Buku terkutuk yang melayang di tangan Kalikamaya mulai bergetar, mengeluarkan cahaya aneh berwarna biru keunguan. Cahaya itu bergerak liar, dan sebagian energi dari buku itu tampak mengalir masuk ke dalam tubuh Aksa, seolah-olah merespon sesuatu yang tersembunyi di dalam dirinya.

Tiba-tiba, Aksa mendengar suara lembut—suara yang sangat ia kenal. Suara kakeknya.

"Keturunanku... inilah saatnya. Kekuatan ini selalu milikmu. Kau hanya perlu menerima dan mengendalikannya."

Aksa tersentak, menyadari bahwa bahkan buku yang menyatu itu adalah bagian dari rencana kakeknya. Mantra-mantra merasuk itu ternyata telah dirancang sedemikian rupa. Jika buku itu disatukan dan digunakan oleh iblis, sebagian besar energinya justru akan berpindah kepada Aksa—memberikannya kekuatan yang selama ini tersembunyi dalam dirinya.

Tubuh Aksa bergetar hebat. Energi misterius mengalir deras melalui nadi-nadinya, membakar setiap luka dan menyembuhkan rasa sakitnya. Perlahan, tubuhnya mulai berubah. Kulitnya bersinar redup seperti kilauan logam. Guratan-guratan sihir berwarna biru terang muncul di sepanjang lengannya, mengalir ke dada dan punggungnya seperti tato mistis.

Rambutnya memanjang hingga sebahu, berkilauan dengan warna perak lembut, seolah setiap helainya memancarkan cahaya bulan. Mata Aksa berubah—pupilnya menyipit seperti mata predator, berwarna ungu menyala dengan lingkaran hitam di tengahnya. Namun, meski ia telah berubah menjadi sosok demoniac, auranya tetap elegan dan tenang. Ia bukan monster penuh kebencian seperti Kalikamaya—ia adalah Aksa, yang kini telah menemukan keseimbangan antara kekuatan manusia dan energi gaib.

Aksa merasakan tubuhnya menjadi lebih ringan, setiap gerakannya bagaikan angin yang mengalir tanpa hambatan. Dalam genggamannya, pedang baru terbentuk—sebuah pedang cahaya berwarna biru cerah, tajam dan ringan, memancarkan aura mistis yang menenangkan namun mematikan.

"Aku telah melihat ini dalam mimpi..." gumam Aksa, merasakan deja vu yang kuat. Tapi kali ini, bukan mimpi—ini adalah kenyataan.

Angan AksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang