Hangyeom adalah pria baik, namun sayangnya naif. Sementara Jaehan merasa Hangyeom tak cukup memberi sesuatu yang ia cari. Sesuatu yang Yechan miliki dan mampu pria itu beri.
*maaf karena di chap 4 tadi ada kekeliruan soal nama karakter. Tapi, udh aku benerin.
*
*
*
Yechan sebenarnya tidak lagi marah.
Sungguh.
Ia hanya merasa butuh waktu. Waktu untuk memikirkan kenapa ia begitu sensitif hari itu.
Mungkin karena untuk sesaat ia berpikir bahwa Jaehan adalah miliknya. Nyatanya, ia harus tahu diri dengan cara berbagi.
Yechan jelas mengakui bahwa ia tak seserius itu.
Awalnya ia hanya ingin menggoda, mungkin karena bosan juga. Apalagi Jaehan selalu terlihat polos dan cantik sekali.
Anehnya, ciuman pertama yang mereka lakukan saat itu tanpa ia duga mampu membuat hatinya berdebar gila. Yechan benar-benar menyukai bagaimana sensasinya.
Perasaan was-was dan bersalah setiap kali mereka berciuman atau bahkan melakukan lebih dari sekedar sentuhan, Yechan tak bisa memungkiri bahwa dari sana ia mendapatkan kepuasan. Kenikmatan yang tidak bisa ia abaikan.
Ia mungkin sudah mencium banyak wanita ataupun pria, tapi rasa manis yang ia kecap setiap mencumbu Jaehan ...
Ia hanya tak bisa melupakan.
Meski begitu, jika ditanya apa ia mencintai Jaehan ... Yechan masih tak bisa memberi jawaban.
Dia memang seorang bajingan. Yechan tidak akan melontarkan sangkalan.
Ia yakin Jaehan pun sama. Jaehan membutuhkan sesuatu darinya yang tak dimiliki Hangyeom. Yechan tak keberatan, karena apapun alasannya, ia tetap akan menyuguhkan segala yang Jaehan inginkan.
Tentu, selama itu menguntungkan.
*
*
*
Di dalam kamar, masih memeluknya, Jaehan yang memainkan jemari di atas dadanya berkata, "Yechanie, bagaimana jika aku hamil dan itu adalah anakmu?"
Jaehan mengatakan itu dengan serius. Mungkin khawatir karena mereka yang tak pernah memakai pengaman saat berhubungan.
"Bisa saja dari Hangyeom, 'kan? Tunggu! Apa kau dan Hangyeom selalu memakai pengaman?"
"Mm."
Sentuhan Yechan pada pinggangnya berhenti, "Kenapa?"
Mereka adalah pasangan yang sudah resmi. Kenapa masih harus dihalangi?
"Hangyeom belum mau. Kau tahu kan bagaimana kerasnya dia bekerja? Menambah satu anggota lagi baginya terlalu berat."
Yechan terdiam.
"Begitu? Jadi, jika kau hamil, sudah bisa dipastikan itu adalah anakku?"
"Yechanie ..."
"Jika kau memang mengandung anakku, maka kau harus menjadi milikku, hyung ..."
Jika memang Jaehan membawa darah dagingnya, maka Yechan tak akan berniat untuk membaginya dengan Hangyeom lagi.
"Tapi, Yechanie ..." Jaehan meraih tangan Yechan, menciumi jari-jari panjang yang selalu memanjakan, "-bukankah sekarang pun aku sudah menjadi milikmu?"
**
"Hyung, bagaimana jika hari ini kita pergi? Aku ingin mengajakmu ke tempat yang sedikit jauh dari sini."
Jaehan duduk, tengah merapikan penampilannya yang kacau sekali. "Ke mana? Tidak mungkin tanpa ijin dari Hangyeom, Yechanie."
Dari arah belakang, Yechan kembali melingkarkan lengan di perutnya, "Kau mau menelponnya? Kau yakin?"
"Uhm. Akan lebih tenang jika aku mengatakannya."
Jaehan melepas pelukan Yechan, tersenyum, ia pun mencium pipi Yechan sebelum masuk ke dalam kamar mandi.
Yechan yang ditinggal sendiri pun mengambil kaosnya dan berjalan ke arah balkon. Dersik angin bergemerisik, Yechan memejamkan mata untuk menikmatinya.
Hari ini sedikit mendung, mungkin sebentar lagi hujan.
Jika benar hujan mengguyur Seoul, maka berdua di rumah akan menjadi sangat sempurna. Mereka bisa melakukan banyak hal di ruangan yang sempit dan hangat.
Namun, Yechan cukup terdistraksi. Jika Jaehan benar hamil anaknya ... Sial! Ia bahkan tak pernah memikirkannya.
Menoleh ke arah kamar mandi, Yechan menatap pintu kayu itu lama sebelum merogoh ponselnya di saku celana.
Hangyeom.
"Hallo, Yechanie? Ada apa?"
"Hyung bolehkah aku mengajak Jaehan keluar hari ini? Aku sedang cuti dan merasa bosan sekali," Yechan benar-benar to the point.
Mungkin, saat ini Hangyeom sedang kebingungan di seberang sana, karena tak kunjung ada suara yang membalasnya.
"Hyung, kau mendengarku?"
"Yechanie, kau menghilang berhari-hari, dan sekarang kau tiba-tiba ingin mengajak Jaehan pergi?"
Yechan tertawa. "Maaf ya, hyung. Kemarin-kemarin aku sakit, jadi tidak sempat membuka ponsel."
"Begitu? Lalu, bagaimana sekarang? Kau sudah sembuh?"
"Sudah. Karena itu aku bosan, ingin jalan-jalan, tapi tidak ada teman. Jadi, bolehkan aku pinjam Jaehan hyung sebentar?"
Hangyeom adalah pria baik yang sangat naif, sebenarnya Yechan sendiri sudah bisa menebak apa jawaban Hangyeom kali ini.
"Uhm, baiklah. Jika Jaehan tidak keberatan silakan saja ... tapi, kau harus menjaganya dan mengantarnya pulang dengan selamat."
Kadang Hangyeom sungguh membuat Yechan berpikir keras, apakah pria itu tidak pernah merasa curiga atau cemburu?
"Tentu, Hyung. Tentu saja aku akan menjaganya. Terima kasih dan maaf soal beberapa hari ni terakhir ini ..."
*
*
*
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Yechanie ... bagaimana jika aku benar-benar mencintaimu suatu hari nanti?"
Yechan menatapnya, cukup lama sampai Jaehan merasa pria itu akan menolaknya.
Nyatanya,
"Kalau begitu cintai aku sebanyak yang kau mau ..."