07

311 36 4
                                    

Malamnya, Hangyeom pulang tanpa ada seorangpun di rumah yang menyambutnya. Mengejutkan, karena ini adalah yang pertama.

Hangyeom menaruh tas dan duduk di atas sofa. Merasa lelah, matanya pun terpejam, namun saat perasaan khawatir itu datang, niat untuk beristirahat langsung ia urungkan.

Ponsel di saku kembali ia ambil sebelum mendial nomor Yechan,  karena ia tak kunjung tersambung dengan nomor milik kesayangan.

"Hallo, Yechan-ah? Kalian di mana?"

Di seberang sana terdengar suara serak Jaehan yang sepertinya baru bangun tidur.

"Kami masih di jalan. Maaf ya, hyung ... tadi macet sekali, sudah begitu hujan lagi."

"Tapi, kalian tidak apa-apa, 'kan? Jaehan bagaimana?"

"Ah, dia baru saja bangun. Kau ingin bicara?"

Hangyeom menolak. Entah mengapa, ia juga tidak mengerti apa alasannya.

"Baiklah kalau begitu. Aku matikan, ya? Maaf, tapi aku sedang menyetir sekarang."

Hangyeom pun mengangguk, padahal Yechan juga tidak mungkin bisa melihatnya. Hanya saja ia merasa aneh dengan hatinya, karena samar ia tadi mendengar suara Jaehan yang memanggil Yechan dengan manjanya. Suara yang biasa hanya diperdengarkan untuknya.

Namun, Hangyeom berusaha berpikir positif. Jaehan baru bangun tidur, mungkin belum sadar sepenuhnya. Mengenyahkan perasaan aneh itu, ia pun berkata pada Yechan untuk tetap berhati-hati.

Yechan tentu mengatakan padanya untuk tidak perlu khawatir karena Jaehan pasti akan aman.

Saat itu, seiring dengan sambungan telepon yang terputus, Hangyeom tersadar akan satu hal, kenapa Yechan selalu memiliki lebih banyak waktu untuk Jaehan dibandingkan dirinya yang jelas-jelas berstatus suami di sini?


**



Sementara itu tak jauh dari rumah di mana Hangyeom dan Jaehan tinggal, Yechan menghentikan mobilnya.

Ia tidak bohong saat mengatakan bahwa Jaehan baru bangun saat Hangyeom menelponnya tadi. Ia hanya berbohong soal macet dan turun hujan.

"Hyung, sudah sampai. Kau tidak mau turun?"

Jaehan menggeleng, "Sebentar lagi."

"Masih merindukanku?"

Anggukan Yechan dapatkan. Sedikit tak menyangka juga sebenarnya. Cukup senang dengan jawaban Jaehan, Yechan melepas seatbelt-nya, memberikan tatapan yang sama tak relanya.

"Kalau begitu, kau mau ikut pulang bersamaku? Aku tidak keberatan kau menginap, jadi kita bisa melakukan apapun di tempatku," bisik Yechan seraya mendekat. Kali ini bukan bibir yang pria itu incar, melainkan telinga merah yang ia kulum hingga basah, tak ayal itu mampu menciptakan desah.

Jaehan menoleh, menyuguhkan bibir terbuka yang langsung dilahap rakus oleh pria yang lebih muda darinya.

Ciuman mereka tak lagi sederhana, tak lagi seringan sayap kupu-kupu yang hanya membuat keduanya tersipu, namun ciuman itu selalu dalam dan sarat akan gairah. Membuat hasrat yang sudah surut kini kembali menuntut. Desahan Jaehan semakin lantang, tangannya nakal mengusap milik Yechan yang mulai mengeras.

Kegilaan mereka hari itu benar-benar sudah di luar batas. Mungkin karena lama tak bertemu, mungkin juga karena memang tak lagi memiliki nurani untuk sekedar memikirkan pria yang mempercayai mereka sepenuh hati.

Perasaan itu bergelora. Tak mungkin bisa padam dengan mudahnya.

Keinginan dan hasrat yang menggebu-gebu ... itu terasa hampir seperti gila jika Jaehan boleh mengatakannya.

Affair✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang