Mirror mirror on the wall, tell no more lies of who we are.
Atticus, 175.
.
Flashback. Dua tahun setelah kelulusan.
"Percayalah padaku Granger, kita bisa lari. Kau, aku dan anak kita." Draco mondar-mandir di kamar flatnya dan Hermione.
Hermione memijat pelan pelipisnya, menatap cermin ke arah perutnya yang mulai membuncit, ini adalah bulan ke lima. "Tidak Draco, aku tidak ingin membuatmu memilih antara keluargamu dan aku,"
Draco mengerang frustasi "Bisakah kau berhenti mengatakan itu? Kau pikir aku bisa meninggalkanmu begitu saja? aku tidak peduli dengan pernikahan konyol itu!"
"Kemarilah Draco, peluklah aku," Bisik Hermione lembut. Draco berhenti dan memeluk perempuan yang ada di hadapannya. Ia semakin kurus belakangan ini, padahal perutnya semakin membesar. Penolakan dari teman dan juga sahabatnya tentang hubungannya dengan Draco mau tak mau menggerogoti tubuh Hermione.
Hanya Harry Potter yang tidak terang-terangan membenci Hermione dan Draco, juga istrinya Ginny Weasley. Meskipun begitu, mereka juga tak membela Hermione secara terang-terangan. Apalagi Hermione kini tengah mengandung buah cintanya dengan Draco.
Sementara Lucius Malfoy yang meskipun berada di dalam Azkaban, sama sekali tidak kesulitan mengeluarkan 'pengaruh Malfoy-nya' dan dengan terang-terangan mengumumkan pernikahan antara Draco dan juga Astoria Greengrass. Hermione tahu meskipun Narcissa tak menentang hubungannya dengan Draco, diam-diam wanita itu juga menginginkan menantunya berasal dari pureblood untuk meneruskan keturunannya.
Jadi, Hermione tidak bisa bersikap egois. Ia telah memutuskan, seberapa bencinya Draco nanti, ia akan mengatasinya nanti.
"Kau tahu kan aku mencintaimu? Aku akan melakukan segalanya untuk membatalkan pernikahan itu" Draco berbisik di telinga Hermione yang kini tengah berbaring di pelukannya.
Hermione meneteskan air matanya, tapi tak ingin menyahuti Draco. Sungguh topik ini membuat Hermione lelah. Jadi Hermione memejamkan matanya. Menunggu Draco tertidur.
Hermione menatap kekasihnya yang telah lama dicintainya, bagaimana halusnya rambut Draco, wajah tampannya yang seolah dipahat, bibir lembutnya. Hermione mencium pipi Draco pelan. Dan beringsut tanpa suara. Menjauhi Draco, ia menyambar tas yang telah lama ia siapkan, ia menuju pintu keluar dan berapparate tanpa suara. Ke sebuah rumah terpencil, yang telah lama ia siapkan.
Tak ada yang tahu, bahkan Harry Potter sekalipun. Hermione Granger telah memutuskan agar Draco tidak meninggalkan keluarganya. Ia telah mendapat hal terindah dari Draco, ia tak meminta apapun lagi. Ini sudah cukup.
.
Hermione membaca berita yang tadi diantarkan burung hantu, sudah delapan bulan sejak Hermione meninggalkan segalanya. Pewaris Malfoy telah lahir, Hermione tahu jika Astoria telah mengandung saat itu. Karena itulah Hermione meninggalkan Draco. Tak peduli bahwa Draco dijebak dan itu permainan Lucius atau Astoria, tapi bagaimanapun Hermione telah kalah. Lebih baik ia pergi sebelum semakin tersakiti.
"it's okay, mummy here honey!" Hermione menimang putranya, ia memiliki bola mata abu-abu. Persis seperti Draco, rambutnya pun pirang keperakan, terkadang Hermione geram, mengapa tak ada staupun darinya yang diwariskan ke putranya?
Suara ketukan di pintu depan mengejutkan Hermione, ia menyambar tongkatnya. Hemrione tak terbiasa menerima tamu, "Siapa?" Hermione berteriak, namun tak ada jawaban.
Dengan pelan, Hermione membuka pintunya dengan waspada. Namun tak ada siapapun. Hermione menoleh ke kanan dan kiri, tapi kosong.
Tiba-tiba entah darimana, sebuah kutukan menyerang Hermione dan membuatnya pingsan.
Hermione terbangun dengan kedinginan, pintu rumahnya masih membuka, entah berapa lama ia pingsan. Hermione meloncat berdiri ketika mengingat putranya di kamar.
"Tidak, tidak, dimana Scorpius?"
Hermione mondar-mandir panik. Ia ketakutan. Putranya tak ada dimanapun, Hermione menjerit histeris. Setelah beberapa saat, Hermione mengambil tomgkatnya "Expecto Patronum. Temukan Harry Potter dan Ronald Weasley, tunjukkan jalan kemari. Aku membutuhkan kalian," Dengan cepat berang-berang perak berlarian dan meninggalkan Hermione yang bersimpuh menangis.
"Bloody hell. Hermione! Apa yang kau lakukan disini?" Ron berteriak panik, ia tiba lebih dahulu. Tak lama kemudian Harry datang "Hermione! Kemana saja kau? Astaga apa yang terjadi!"
"Scorpius. Putraku! Putraku hilang Harry!"
"Kau punya putra?" Ron terkejut dan memucat.
Harry segera memeluk sahabatnya yang tampak kacau "Kau yakin? Apa yang terjadi sebenarnya Hermione? Kau harus bercerita atau aku tak bisa membantumu,"
Harry beralih pada Ron "Ron, bisakah kau membuatkan kami semua teh?"
Ron yang masih terkejut hanya mengangguk, ia menatap perabotan bayi yang berserakan disekitarnya.
"Apa ini Malfoy Hermione? Itu anaknya?"
Hermione mengangguk lemah, "Apa Malfoy yang mengambil anakmu?"
"Aku tidak tahu Harry"
"Apa aku harus memanggil Malfoy kemari? Kau tahu dia snagat hancur sekarang. Ia masih mampir ke kantorku sampai sekarang. Ia mencarimu Hermione,"
Hermione sedikit terhenyak, kemudian Ron memasuki kamarnya dengan membawa senampan teh "Apa ini tentang Malfoy?"
Hermione hanya menunduk sementara Harry menatap Ron serba salah "Tidak apa-apa Hermione, aku mengerti. Asalkan kau kembali pada kami, maafkan aku dan sikapku sebelumnya. Apa aku perlu memanggil Malfoy?"
Hermione dan Harry cukup terkejut dengan sikap Ron, mereka tidak pernah membayangkan akan penerimaan ini, Hermione menghambur ke pelukan Ron, ia seperti menemukan kembali sahabatnya. Sementara Harry menepuk pelan punggung dua orang paling berarti dalam hidupnya.
Setelah tenang, Hermione menceritakan secara kronologis apa yang sebenarnya ia lakukan sejak malam ia meninggalkan Draco, Hermione sesekali melirik takut-takut ke arah Ron. Namun seperti harry, Ron hanya menyimaknya. Jika sebelumnya Ron adalah penentang hubungan Hermione dan Draco nomor satu, saat ini ia tak menampakkannya sama sekali.
"Kau tahu, Malfoy sudah memiliki anak sekarang,"
Hermione mendesah sedih "Ya Harry, karena itulah aku meninggalkannya,"
"Tapi Malfoy masih mencarimu, aku beebrapa kali bertemu dengannya di kantor Harry," Sahut Ron,
"Aku tidak peduli lagi, bagiku putraku saja sudah cukup, aku tak akan pernah kembali atau mengganggu hidup Draco lagi."
Harry dan Ron berpandangan. Seperti biasa, tak ada yang bisa mengganggu gugat keputusan dan keras kepalanya seorang Hermione Granger.
"Maukah kau kembali ke London Hermione? Kami akan mulai melacak kepergian putramu, tapi kami tak bisa meninggalkanmu sendirian disini," Tanya Ron lembut.
Hermione hanya menunduk, begitu banyak pertimbangan yang kini ada di otaknya. "Ya, sepertinya aku akan menemui Draco,"
"Baiklah, apapun keputusanmu Hermione. Kami akan membantumu berkemas" Ucap Harry.
"Kau siap?" Tanya Ron yang kini menggenggam lengan Hermione dan Harry.
Mereka bertiga kembali muncul di Godric's Hollow. Rumah Harry.
"Baiklah, kau akan tinggal denganku untuk sementara"
"Hermione! Astaga kemana saja kau Mione! Aku begitu merindukanmu!" Ginny menubruk Hermione yang bahkan belum memasuki pintu rumahnya.
Hermione terharu akan sambutan teman-temannya meskipun kerisauan akan kehilangan putranya tak dapat terbendung.
Setelah beristirahat dan meletakkan semua barangnya, Hermione bergegas menemui Harry di ruang kerjanya.
"Harry, bisakah kau menemaniku?"
Harry yang terkejut segera berdiri "Apa? Mau kemana Hermione, kau harus istirahat,"
"Tidak Harry, bisakah kau menemaniku ke Malfoy Manor?"
.
.
.
To be continued.

KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny (Dramione & Scorose Fanfiction)
FanficRose Weasley mencintai Scorpius Malfoy tanpa pernah meragukannya sedikitpun. Di tengah paksaan Scorpius tentang menikah yang membuat Rose jengah dan kedekatannya dengan James Potter semakin meningkat, Rose tiba-tiba menemukan fakta bahwa Ibunya, Her...