Chapter 8

133 13 2
                                    

She was a storm, the kind of girl you needed to lose yourself to find somewhere up half a bottle of whiskey and down half the moon of sky.

Atticus, 122.

.

Aku menatap langit yang kini menggelap, kumolonimbus bergantung di cakrawala. Angin mulai berhembus kencang, menerbangkan daun-daun musim dingin. Salju sudah mulai mencair namun suhu masih menggigilkan kulit. Aku kembali memperbarui mantra penghangat di sekeliling tubuh.

Pagi tadi burung hantu keluarga Weasley mengetuk jendela kamarku dan surat dari Rose mengatakan bahwa ia ingin menemuiku di suatu taman muggle dekat rumahnya. Aku memperhatikan lingkungan perumahan yang sepi ini. Seluruh rumah nampak seragam dan hiasan-hiasan natal masih tergantung di beberapa rumah.

Aku tidak lagi bertemu Rose atau bertukar kabar sejak pesta di kementrian dua minggu yang lalu. Mungkin saja ia bingung, sama sepertiku. Kami ingin mencerna semuanya dan menenangkan diri.

Aku menoleh ke arah kanan di ujung jalan ketika seorang gadis dengan rambut ikal merah melambai seiring langkahnya yang semakin mendekatiku. Kehadiran Rose Weasley tak pernah gagal memukauku. Kali ini ia menggunakan celana jeans, kaos, jaket tebal, boots dan syal yang menutupi hampir setengah hidungnya. Mata hazelnya bersinar lembut, sejak dulu dan mungkin selamanya, Rose Weasley adalah perempuan tercantik di mataku, selain ibuku tentu saja—sebelum ia melakukan hal mengerikan kemarin.

"Scorp, kau sudah lama?" Ucap Rose ramah, senyumnya tersembunyi dibalik syal tebal namun aku tahu ia tersenyum dari matanya yang sedikit berkerut dan berbinar.

"Tidak love, bagaimana kabarmu?" Aku berdiri dan mencium puncak kepalanya pelan. Rose tersipu dan segera duduk di bangku taman.

"Aku baik-baik. Bagaimana lukamu?"

Aku menyeringai dan menunjukkan tanganku yang sudah hampir mulus "Aku bahkan tak pernah terluka love."

Rose memutar matanya kesal "Tentu saja, perawatan mahal keluarga kaya,"

"Ouch, kau menyakiti hati Grandmotherku Rosie. Ia yang setiap hari merawatku." Aku pura-pura menampilkan wajah terluka.

Rose hanya meringis mendengarku, "Sorry,"

"Jadi apakah kita telah baik-baik saja?" Ucapku ingin tahu.

Wajah Rose seketika berubah, ia gugup dan sedih. "Aku tidak tahu Scorp."

Ada sengatan menyakitkan dihatiku. Setelah hening beberapa saat aku mulai menemukan lagi suaraku "Mengapa?"

Rose mendesah sedih, ia tak ingin menatapku "Scorp, apa kau tahu bahwa Ibuku pernah berhubungan dengan Ayahmu?"

Aku mulai menata emosiku dan berhasil mengendalikannya "Lalu? Itu hanya masa lalu Rosie. Kau ingin mempermasalahkan itu?"

"Tidak. Tapi, pernahkah kau berpikir mengapa keluarga kita sama-sama tidak menyukai jika kita bersama? Apa kau percaya begitu saja tentang status darah yang diagungkan Ibumu padahal itu sudah lama dihapuskan—"

"Ya, tentu saja dia masih menjunjung omong kosong itu Rose—" Aku memotong perkataan Rose dan berseru gusar.

Aku bisa merasakan kilat marah yang ada di mata hazel Rose. Bagus, kini kami kembali bertengkar.

"Jangan memotong omonganku Scorpius Malfoy." Ucap Rose dingin. Aku hanya mengedikkan bahu mempersilahkannya bicara. pandanganku beralih menatap beberapa anak yang sedang bermain ayunan dan perosotan. Bahkan di cuaca yang tengah membeku mereka masih bisa bermain dengan ceria.

Rose kembali berbicara ketika ia memperhatikan fokusku kembali pada dirinya "Aku tahu kau lebih pintar dari ini Scorpius. Mereka tidak peduli dengan omong kosong itu. Faktanya adalah entah kapan dan bagaimana Ibuku memiliki hubungan dengan Ayahmu dan itu sebuah masalah."

Aku mendengus kesal "Apa masalahnya Rose? Mereka hanya memiliki masa lalu. Ayahku memiliki Ibuku dan aku. Begitupula Ibumu dan keluargamu. Mereka bertahan selama belasan tahun. Lalu kenapa jika mereka memiliki satu atau dua tahun bersama di masa lalu? Itu tak akan pernah mengganti waktu belasan tahun bersama pasangannya saat ini!"

"Lalu mengapa warna matamu sama dengan warna mataku Scorp?" Rose menatapku dengan tajam dan dingin.

Apakah aku sudah pernah mengatakan jika terkadang aku membenci kenyataan bahwa aku mencintai gadis paling pintar di masanya ini?

Ia begitu teliti dan terlalu memikirkan segalanya. Hell aku bahkan tidak pernah memikirkan pemikiran menjijikkan seperti itu. Apa? Kau tidak setuju denganku? Tentu saja maksud Rose adalah kami merupakan saudara satu ibu hanya karena mata kami memiliki warna yang sama—salah satu mataku lebih tepatnya.

Lalu kata apa lagi selain menjijikkan jika pemikiran Rose benar, aku jatuh cinta kepada saudara perempuanku? Ugh, aku mual memikirkan itu. Bagaimana bisa Rose bahkan berpikir sejauh itu?

"Sebagai catatan Rosie, hanya salah satu bola mataku."

"Tidakkah kau ingin tahu apa yang terjadi pada mereka Scorp, karena—karena aku tidak ingin jatuh cinta ugh dengan—"

Aku memutar bola mataku, "Hentikan pemikiran itu Rosie. Apakah kau tahu bahwa pemikiranmu itu terlalu jauh?"

Rose mengerang kesal, ia menghentakkan salah satu kakinya. "Hanya orang idiot yang tidak menyadari bahwa mereka memiliki masa lalu. Atau bahkan mereka masih menyimpannya," Rose berseru lirih.

"Apa maksudmu?" Keningku berkerut bingung. Aku terbayang ucapan Mother yang mengatakan bahwa Hermione yang bisa merebut hati Father.

"Uhh aku, aku tidak yakin sebenarnya" Rose mendadak gugup, aku menebak ia tak bermaksud mengatakan hal itu.

"Ada apa Rosie, ceritakan kepadaku" Aku memaksa Rose menghadap dan menatap mataku.

Rose memejamkan matanya sesaat, mencoba meredakan kegugupannya atau mungkin menenangkan dirinya sendiri, sementara tanganku masih memegang lengannya. Sedikit tegang dan antisipasi akan apa yang akan dikatakan oleh Rose.

"Ugh, aku melihat mereka berdua diluar ruangan pesta," Rose berhenti sejenak untuk menatapku. Aku menaikkan satu alisku menunggunya menyelesaikan cerita.

"Mereka hanya berdua, Ayahmu bertanya keadaanku. Ibuku memohon agar Ayahmu menjaga keluargamu agar tak menyakitiku, Ibuku sepertinya menangis dan Ayahmu, umm ia berkata—"

Rose kembali berhenti. Ia begitu gugup.

"Ia mengatakan apa Rose?" Ucapku tak sabar.

"Jangan menangis didepanku Granger atau aku akan memelukmu disini,"

Aku membeku mendengar ucapan Rose. Selain aku terganggu akan panggilan ayahku kepada nama gadis Hermione, itu bukanlah hal yang lumrah untuk dikatakan pada istri orang lain.

Hell. Keluarga Malfoy selalu menjunjung tinggi harga diri, martabat dan kesopanan—atau begitulah bagaimana aku dibesarkan dan dididik.

Fakta jika Ayahku mengatakan itu kepada istri orang lain membuatku bertanya-tanya tentang ideologi yang tertanam pada diriku. Mungkinkah hubungan mereka belum selesai? Seperti apa kata Rose.

Tsk, sejujurnya aku mual membayangkan Ayahku jatuh cinta pada wanita lain. Aku mengerti tradisi bodoh darah murni mereka yang menjodohkan anak-anak mereka dan hidup bersama orang yang tak dicintainya. Aku tahu Father tidak pernah menggebu-gebu atau memandang Mother dengan penuh cinta. Namun Father tak pernah berlaku buruk dan mereka mendidikku dengan baik. Aku bahkan bersyukur bahwa seorang Draco Malfoy bisa memilih jalan yang berbeda dalam mendidik putranya dibandingkan dengan Lucius Malfoy.

Namun kata-kata Rose menggangguku, pikiranku melayang pada cincin Dad, kalung Hermione dan gelang Rose. Gelang itu masih melingkar di tangannya.

.

.

.

To be continued.

Destiny (Dramione & Scorose Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang