Chapter 5 : Langkah Kecil

32 7 5
                                    

Beberapa hari kemudian, malam itu, Danau Bening, Kaki Gunung Djati.

Dengan tongkat kayu sebagai alat bantu jalan, Mbah Sumarni si nenek sepuh berbadan bungkuk melangkah mendekati Ni'mal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dengan tongkat kayu sebagai alat bantu jalan, Mbah Sumarni si nenek sepuh berbadan bungkuk melangkah mendekati Ni'mal. Ia berdiri di belakang pemuda berkaos putih yang tengah duduk dalam posisi semedi menghadap danau. "Sudah tujuh hari kau bermeditasi di sini. Terhitung empat belas hari semenjak kau dinyatakan hilang dan menjadi buronan utama Manunggal."

Ni'mal membuka mata, menengok sang guru. "Aliran kundaliniku masih sama. Sepertinya, aku perlu lebih banyak waktu."

Mbah Sumarni duduk di sebelah kanan Ni'mal. "Mendekati tengah malam, bagian dari jiwa yang belum tenang di desa itu pasti berkeliaran. Terlebih, ini belum lama sejak mereka dibunuh dengan tragis," ungkapnya menelisik desa mati di seberang danau nan penuh sosok astral mirip korban pembantaian para Kalong. "Apa kau ndak takut?"

"Tidak." Ni'mal menggeleng kecil, ia turut memandang lurus ke arah desa yang berantakan. "Aku justru iba sekaligus merasa berdosa." Ia menarik napas dalam. "Kalau saja aku tak berada di sini, mungkin para Kalong tidak akan menyerang kemari. Entah benar mereka roh gentayangan atau hanya bagian dari sukma para korban, aku iba melihat nasib mereka."

Anak ini sudah lebih tenang. Cucumu benar-benar berbakat, Pur. Sang nenek sepuh mendongak menatap langit malam. "Sekitar tujuh hari lalu, kakekmu datang ke mimpiku."

Ni'mal berwajah datar. "Apa beliau kecewa melihatku, Mbah?"

"Dia berpesan agar kau segera menjalankan wasiatnya," jawabnya berdiri. Ia melirik Ni'mal. "Tidak seperti iblis yang sudah tersegel, pusaka terkutuk itu sudah menyatu dengan jiwamu. Kau mungkin bisa menggunakannya."

"Benarkah?" Ni'mal turut bangkit. "Kalau begitu, tolong ajari aku menggunakannya, Mbah!"

Mbah Sumarni menggeleng. "Temui Arjuna Putih. Dia yang bisa mengajarkanmu."

Pemuda berkaos putih tersenyum masam. "Bagaimana mungkin aku berguru pada orang yang ingin membunuhku?"

"Sebagian orangtua hanya keliru mengungkapkan rasa sayang kepada anak mereka. Termasuk Jaka Bagus." Ia balik badan. "Pergilah ke Kota Pangestu. Temui orang bernama Dwi Atmojo. Mito akan menemanimu."

"Tapi ... dengan kekuatanku yang sekarang, bukannya Mito dalam bahaya kalau harus menemaniku? Lalu ... Yang namanya Dwi Atmojo bukan hanya satu, kan?"

"Dia Adipati Kota Pangestu, salah satu petinggi Sunyoto yang mengabdikan diri demi rakyat Manunggal. Diam-diam dia sedang menyelidiki kasus yang dikubur oleh Tumenggung Kadipaten Senlin. Barangkali saat kau membantunya, kau akan menemukan ayahmu."

"Membantu Adipati mengungkap kasus yang dikubur Tumenggung Senlin?" gumam Ni'mal lirih. Ia ingat ketika dirinya berurusan dengan para Makhluk Hitam di laboratorium rahasia. "Aku yang sekarang pasti tidak akan mampu, Mbah ...." Ia menunduk lesu. Sadar diri atas kelemahannya saat ini. "Aku tak akan bisa melawan orang-orang berkuasa itu sendirian."

Kisah Negeri Manunggal 2: Pemburu AsuraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang