Chapter 8 : Sang Ayah

17 5 5
                                    

Belasan tahun silam, Kediaman Mbah Purwadi, Kadipaten Sunyoto.

"Ni'mal?" Setelah terdiam menikmati keheningan malam bersama sang cucu di teras rumah, Penerus Padepokan Macan Bumi menoleh pada remaja berkaos biru.

"Ya, Kek?" sahutnya memandang wajah sang kakek. Dirinya kala itu berusia 15 tahunan.

"Kakek boleh tanya?"

Ni'mal manggut-manggut. "Tanya apa?"

Mbah Purwadi menarik napas panjang. "Sudah bertahun-tahun kamu tidak pernah tanya soal ayahmu. Apa kamu tidak penasaran?"

Ni'mal tersenyum getir. "Dulu pas Ni'mal tanya soal ayah, Kakek kelihatan sedih. Jadi ... Ni'mal agak sungkan kalau bahas itu," paparnya.

Lelaki sepuh berblangkon hitam menghela napas. "Ayahmu adalah Arjuna Putih."

"Maksudnya Arjuna Putih itu apa?" selidiknya penasaran.

"Dulu di saat Prabu Cakrabumi yang Pertama memimpin, ada masing-masing perwakilan pendekar dari lima Kadipaten. Mereka diminta berkumpul dan menjadi Pandawa. Semua yang menjadi Pandawa merupakan keturunan 4 Pendiri Padepokan besar di Manunggal."

"Lalu, apa tugas para Pandawa Manunggal?" Ni'mal tertarik.

"Menjelajah Manunggal dan mengumpulkan berbagai bukti sejarah Manunggal yang hilang. Selain itu, mereka juga dipercaya sebagai penumpas pemberontakan. Tapi Pandawa Manunggal tidak lagi ada setelah Prabu Cakrabumi Ke-dua turun tahta. Dan saat Prabu Cakrabumi Ke-empat menjadi raja, Pandawa Manunggal kembali dibentuk."

"Kalau ayahku Arjuna Putih, berarti dia juga punya teman dengan gelar Yudhistira Putih dan lain-lain?"

Sosok sepuh berbusana hitam mengangguk. "Pandawa Manunggal saat itu bertarung melawan lawan yang cukup kuat. Singkatnya, mereka semua gugur dan berhasil mengusir sosok itu. Hanya ayahmu yang bertahan hidup sampai akhir pertarungan."

"Apa sosok yang dilawan mereka ini ... Asura?"

Mbah Purwadi menggeleng. "Bukan."

***

Jaka Bagus Sang Arjuna Putih bertanya pada Garin tanpa berpaling dari Ni'mal. "Apa di sekitar rawa terdekat masih belum dibangun perkampungan?"

"Jika yang Anda maksud kawasan Rowo Nesu, masih belum."

Sang Arjuna Putih tersenyum dari balik topeng. "Bagus kalau begitu!" celetuknya melesat menghampiri putranya yang berdiri dalam kostum PM.

Netra Mito terbelalak saat sang Arjuna Putih melesat cepat dan berhenti di hadapan Ni'mal. Cepat seperti Mbah Sumarni!

"Kau pikir kau bisa menyembunyikan identitas hanya dengan memakai helm?" Sang pria bertopeng Arjuna Putih berputar dan melayangkan tendangan. Serangannya memaksa Ni'mal melayang tinggi ke angkasa.

Sang Arjuna Putih bersiul. Sedetik kemudian sesosok burung seukuran pria dewasa melesat menyambar dan membawa terbang Ni'mal. "Kau Mito murid Mbah Suni, kan?" tanya Jaka Bagus sambil menepuk bahu remaja di sana.

Sasmito membeku. Ia tak tahu harus berbuat apa. Melawan jelas bukan pilihan baik. Dia tahu sapaan akrab Mbah Sumarni?

"Temui Adipati dan jelaskan situasinya," titahnya mengambil ancang-ancang. "Aku ada urusan dengan bocah itu," imbuhnya melesat cepat mengejar sang piaraan yang membawa pergi Ni'mal.

Setelah Sang Arjuna Putih meninggalkan lokasi dan membuat Garin serta Mito tercengang menyaksikannya pergi dalam kecepatan tinggi, Raden Dwi Atmojo berjalan menghampiri.

Kisah Negeri Manunggal 2: Pemburu AsuraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang