Chapter 64: Api Cemburu

9 3 18
                                    

Salah satu pria berwajah babak belur terkekeh melihat Ni'mal melangkah keluar dari padepokan. Lelaki penuh tato bernama Bahuwirya itu hanya mampu tergolek lemah bersandar di pohon besar halaman padepokan. "Padepokan leluhurmu telah direbut. Dan kau langsung menyerang orang-orang di sini tanpa pandang bulu? Harusnya ... kau bunuh orang-orang yang jadi otaknya!"

Ni'mal berjalan pelan melewati Bahuwirya. "Aku hanya melampiaskan kekesalan."

"Kukira Arjuna Merah buronan berakal cerdik! Rupanya hanya bocah ingusan dengan kekuatan setan!"

Ni'mal berjalan menjauh tanpa mempedulikan omongan pria penuh tato.

"Kau pikir kakekmu bangga dengan tindakanmu!" celetuknya lagi.

Ni'mal diam sejenak, dalam sekejap melesat cepat dan mengangkat tubuh Bahuwirya dengan satu tangan. "Jangan sebut kakekku, bedebah pengkhianat!"

"Kau ingat aku, ya?" Pria babak belur tersebut gemetaran mencoba melemaskan cengkraman lawan. "Apa kau lebih tahu Mbah Pur ketimbang aku?"

Ni'mal ingat bahwa pria kekar di hadapannya ini adalah salah satu lawannya saat perebutan posisi Padepokan Macan Bumi beberapa tahun silam. "Organ dalammu sudah remuk. Aku bisa membunuhmu dengan satu pukulan sekarang!"

"Hhhhngh! K-kau bodoh! Harusnya kau ambil alih Padepokan setelah kau mendapat kekuatan! Bukan malah pamer kesaktian demi sayembara Manunggal!" Ia memaksakan diri bicara meski cengkeraman Ni'mal kian kuat. "Padahal kakekmu itu selalu memikirkanmu! Tapi kau malah pergi entah ke mana demi mencari wanita! Dasar gila!"

Pemuda berkaos merah sontak melempar tubuh pria bertato ke sebuah pohon hingga retak. Ia urung melangkah melihat lawannya telah muntah darah.

"Uhukkh! K-kau ... kalau saja kau mengurus Padepokan alih-alih bergabung di Sayembara, warisan keluargamu ini tak akan hancur!" Bahuwirya bangkit tertatih. "Kau egois, Nak! Kau membuat kami terpaksa berkhianat demi bertahan hidup!"

Ni'mal tersentak. Diam seribu bahasa. Ucapan pria bertato nan babak belur di hadapannya masuk di akal.

"Kau kira ... aku tak tahu kalau kau hanya membunuh mereka yang darahnya telah tercampur Makhluk Hitam!" serunya kemudian batuk darah sembari menunjuk puluhan orang yang tergeletak di pelataran padepokan - sebagian tak bernyawa. "Kau tak membunuhku karena aku pernah jadi tangan kanan Mbah Pur? Naif sekali!"

Ni'mal menghela napas panjang. Ia melirik ke tanah, lantas mengambil gawai Bahuwirya yang jatuh saat ia membanting barusan. Ia menelpon kontak SM, lantas berkata, "Ada puluhan orang kritis di Padepokan karena amukanku. Yang tewas hanya mereka yang darahnya tercampur Makhluk Hitam. Katakan pada Yo dan Richard, kujangku yang akan memenggal mereka!"

"Kau ... uhuk! Mau ... lari lagi?"

"Ya. Tapi aku tak akan lari lagi dari tanggung jawab." Ni'mal memejamkan mata, mengambil ancang-ancang, lantas memijakkan kaki kuat-kuat.

Dalam sekali hentakan kaki, pemuda berkaos merah tersebut melesat ke atas bangunan tertinggi, lantas melompat lagi ke rooftop lain.

Bahuwirya terduduk lesu. Meringis menahan nyeri. Anak macan, memang bakal jadi macan.

***
Apartemen, Fanrong Selatan.

Setelah pengejaran sekaligus pencarian Ni'mal di Padepokan Macan Bumi gagal, mereka bertemu William. Pria itu pula yang membela rombongan Srikandi dari tuduhan keterlibatan mereka atas apa yang terjadi di sana.

Wahyu, Zain, Puspa, Lastri, dan Srikandi, duduk menikmati sajian penyambutan dari pemilik apartemen. William yang merupakan putra Hendrick, duduk dalam setelan jas mewah dan kacamata hitam. Tak seperti rombongan Zain yang menghadap aneka macam santapan, William hanya menikmati kopi lempung dan rokok di tangan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 4 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kisah Negeri Manunggal 2: Pemburu AsuraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang