Chapter 43: Ikatan (Bag. 2)

19 5 15
                                    

Beberapa waktu sebelumnya.

"Bagaimana keadaanmu, Nak?" Arjuna Putih menyapa Ni'mal yang masih terbaring di kamar. Pria berjubah putih membawakan daging panggang serta minuman.

Ni'mal menatap ayahnya yang masih mengenakan topeng. Setelah pria berbusana putih menaruh hidangan di meja dekat dipan, Ni'mal buang muka. Ia tak berkata-kata.

"Makanlah. Anjani yang susah payah buatkan. Meski belum pulih, dia memaksa agar diizinkan memasak untukmu." Masih tak melihat gerakan putranya, Jaka Bagus menambah, "Adikmu itu sangat sayang padamu."

"Sampaikan terimakasihku padanya," ucap Ni'mal datar.

"Hey, Bujang! Kau kenapa? Kau marah padaku?"

"Tidak. Aku hanya belum terbiasa berkomunikasi dengan orangtua. Khususnya Ayah. Selain tak pernah menjengukku, kau bahkan ingin sekali membunuhku dulu. Bukankah sikapku sekarang ini masih lebih baik ketimbang berontak dan ingin membalasmu?"

Jaka Bagus terkekeh mendengar ucapan Ni'mal. Ia melepas topeng, menarik kursi kayu dan duduk menghadap putranya. "Kalau kau mau, kau boleh membalasku setelah kekuatanku sebagai Utusan Sura Utara hilang."

"Maksudnya?" Ni'mal mengaitkan alis.

Pria berjubah putih menarik napas, tersenyum memandang wajah putranya. "Kang Armi datang ke mimpiku beberapa bulan lalu. Beliau bilang, Sura Utara akan mencabut paksa kekuatanku jika aku masih bersikeras ingin membunuhmu."

Ni'mal mundur dalam posisi duduk. "Jadi kau masih ingin membunuhku?"

"Kalau ada orang tua ngomong, dengar dulu!" sela Jaka Bagus. Terdiam lima detik, ia kembali berucap, "Setelah segel dalam dirimu meredup, aku bermimpi ... dalam mimpiku, aku tewas dalam peperangan melawan Tumenggung Merah. Itu sebabnya aku sempat ingin membunuhmu. Aku cemas, Iblis Darah itu menguasai tubuhmu ... dan kau membunuh banyak orang lagi."

Ni'mal bungkam. Benaknya merenung. "Sebenarnya ... siapa Iblis Darah ini? Bagaimana dia bisa menempel di jiwaku? Dan sejak kapan?"

"Aku tak tahu pasti makhluk apa dia ini." Arjuna Putih menghela napas. "Ketika usia kandunganmu menginjak 4 bulan, aku dan ibumu sering bermimpi buruk. Di dalam mimpi, kami melihat yang terlahir bukanlah manusia ... melainkan sosok Buto,  seperti yang tergambar di relief candi Sunyoto."

Jaka Bagus menarik napas lagi, memberi jeda. "Kami bertanya pada para Tetua Manunggal, tapi beliau-beliau hanya menganjurkan untuk bersabar dan berbaik sangka pada Sang Pencipta. Hingga sehari sebelum kau lahir, kami bermimpi didatangi Kyai Yahya - ayahanda Raden Armi. Beliau berkata, ada takdir yang dapat diubah, dan ada takdir yang tak dapat diubah. Sebagai manusia, kita hanya bisa berusaha. Sebab apapun yang terjadi, adalah pemberian-Nya."

"Lalu?" Ni'mal penasaran.

"Di saat persalinan, ibumu muntah darah. Ia menangis, tapi yang keluar dari mata indahnya, adalah darah." Jaka Bagus memejamkan mata. "Tepat setelah kau lahir ... ibumu tiada."

Ni'mal berkaca-kaca. Hatinya menangis. Pasalnya, kejadian itu seakan tergambar jelas di kepala.

Sang Arjuna Putih menahan air mata agar tak tumpah. "Setelah itu ... kau beranjak besar. Tak ada hal ganjil yang kami lihat. Entah saat kau berumur dua atau tiga tahun, aku ... benar-benar pergi meninggalkanmu, menitipkanmu pada kakekmu. Semenjak kau masuk sekolah, saat itu aku tak lagi mengawasimu."

Air mata Ni'mal menetes. Hatinya sadar, kejadian itu pasti berat bagi ayahnya. Ia tak ingin menyalahkan ayahnya, pun tak berani menyalahkan takdir Sang Maha Kuasa.

"Ni'mal?" Jaka Bagus mendekati putranya. "Sebagai ayahmu, apa aku boleh meminta sesuatu?"

"Apa?" tanyanya mengusap air mata.

Kisah Negeri Manunggal 2: Pemburu AsuraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang