Chapter 4: Menuju Tatanan Manunggal Baru

27 7 2
                                    

Hutan Kaki Gunung Djati.

"Kalong kurang ajar!" Mbah Sumarni terjun dari langit. Ia melempar tongkat kayu di tangan ke kepala sang kelelawar raksasa. "Hiyaaah!" Usai kepala sang Makhluk Hitam terpasung di tanah, sosok sepuh beruban tersebut menginjak punggung kelelawar lebar hingga tulangnya bergemeratak.

Blaaamm!

Ni'mal menitikkan air mata. Ia merasa gagal melindungi nyawa bocah cilik yang justru tewas menolongnya. Pemuda beriris mata coklat menunduk lesu, mengacuhkan rasa nyeri di punggung. Aku ... diselamatkan oleh anak kecil?

"Mas Yudha!" Bambang si bocah berkaos kuning muncul mendekat. Matanya tertuju pada badan sang kakak di sebelah bangkai Kalong. Dari sudutnya, ia tak melihat jika tubuh sang kakak telah terpotong akibat keganasan Makhluk Hitam.

Cet!

Si pria berkumis yang merupakan kusir, menahan tubuh Bambang dari belakang. Ia jongkok, lantas lirih berbisik, "Masmu ... gugur."

"Pakdhe! Lepas! Itu Mas Yudha diserang monster!" sahut Bambang berontak.

Mbah Sumarni menghela napas panjang. Cepot tadi datang dan sengaja menahanku, ya? Ia berpaling menatap Ni'mal. "Aku tahu maksud licikmu, Cepot!" serunya melesat cepat ke sisi kiri Ni'mal kemudian melakukan tendangan bak pemain bola.

Blaaak!

Cepot si pria bertopeng merah yang baru akan mencuat dan menarik tubuh Ni'mal ke dalam bayangan, dipaksa keluar dan terlontar beberapa meter. Tendangan Mbah Sumarni menghancurkan topeng di wajahnya.

"Uugh!" Cepot muntah darah, berlutut lesu. "Sepertinya aku tak bisa menyentuh Ni'mal di wilayahmu, ya?" Ia menenggelamkan badan ke bayangan pohon sambil menutupi wajah.

"Kau sengaja membuat Ni'mal menyaksikan hal seperti ini saat dirinya lemah, agar kemudian kau menghasutnya untuk membangkitkan iblis dalam dirinya lagi, ha?" hardik Mbah Sumarni. Nenek bertubuh bungkuk tersebut menunjuk Cepot. "Kau mau membuat bocah lugu dan polos ini kembali jadi Arjuna Merah?" Ia menggoyang jari telunjuk. "Langkahi dulu mayat para Tetua Manunggal!"

"Haaaah, susah ngomong sama orang tua. Dahlah!" Cepot membenamkan diri ke dalam bayangan sambil terus menutupi wajah. "Sampai jumpa lain waktu, Ni'mal!"

***

Beberapa hari kemudian, Kaki Gunung Djati.

Ni'mal memandang sedih Bambang yang termangu di dekat kuburan kakak dan ibunya. Cucu Penerus Padepokan Macan Bumi tersebut mengintip bocah itu dari balik pohon. Sudah beberapa hari ia lalui di desa nan sunyi di kaki Gunung Djati.

Bambang pun banyak merenung sendirian. Ia hidup tanpa adanya gairah dan harapan. Setelah ibu dan kakaknya tiada, ia hanya mau makan sekali sehari. Itu pun jika dipaksa Mbah Sumarni.

Nenek sepuh bertubuh bungkuk melangkah lirih dan berhenti di sisi kanan Ni'mal. "Apa kau tahu kenapa senyum itu disebut ibadah?"

Ni'mal menggeleng lirih tanpa memalingkan pandang dari Bambang. "Tidak."

"Senyuman adalah bentuk kecil dari menebar kebahagiaan. Dan sebaliknya, memasang wajah murung adalah bentuk kecil dari menebar kesedihan. Bukankah aneh kalau kau yang ingin menghibur bocah itu malah murung begitu?"

Ni'mal diam seribu bahasa. Ia paham harus bagaimana, tapi tak bisa mengalahkan kesedihan dalam dirinya. Ia tahu rasa sakit yang Bambang terima. Tapi tak tahu bagaimana cara menghiburnya sebagaimana tak tahu cara menghibur dirinya sendiri.

"Tiap manusia berjuang dengan cara mereka masing-masing. Ada yang berjuang demi mapan dalam hal ekonomi untuk membahagiakan keluarga, ada yang berjuang menjadi lebih kuat demi melindungi yang dicinta, ada yang berjuang menyuarakan kebenaran demi menumpas kejahatan." Mbah Sumarni menaruh telapak tangan kanan di bahu Ni'mal. "Kalau kau, tergolong yang mana?"

Kisah Negeri Manunggal 2: Pemburu AsuraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang