11. Xel

61 8 0
                                    

Tak terasa kini kami telah sampai di depan rumahku. Aku beranjak turun dari mobil. Namun, Axelio menahanku.

"Tunggu sebentar, serahin handphone lo." Mintanya dengan tangan terbuka kepada ku.

Apa ini? Dia mau merampokku?

Tanpa basa basi, aku menyerahkannya begitu saja. Toh juga, orang ini kan kaya, mana mungkin dia mau mengambil handphoneku yang harganya tak seberapa ini. Dia kan bisa membelinya sendiri, apa lagi harganya juga tidak sampai membuat keluarga Valeriven bangkrut.

Tak berselang lama, ia mengembalikan handphonenya padaku.

Aku pun menerimanya dan melihat apa yang tadi dia lakukan kepada handphoneku.

Jangan-jangan dia menghapus sebuah dokumen yang berisikan bukti-bukti penting?

Hmm.. Mencurigakan..

Axelio yang melihatku menatapnya dengan tajam hanya bisa menghela napas pasrah. "Gue cuman masukin nomor gue kok."

Aku lalu mengecek isi kontakku. Ada sebuah nama kontak baru, Xel?

"Kenapa namanya Xel? Kan nama lo Alexio atau gak Axelio?" Heranku.

"Mulai sekarang, panggil gue Xel, lagi pula lo pasti bingung mau manggil gue Alexio atau Axelio, lebih baik lo panggil gue Xel aja. Nama itu juga nama panggilan gue sama kembaran gue, toh juga sama aja." Ucap Xel.

"Oh! Oke.."

Setelah Xel pergi, aku segera berjalan memasuki rumah.

Ting!

Namun, sebelum sempat aku membuka pintu.
Pesan baru saja masuk!

Aku melihat pesannya, sebuah pesan dari Xel. Sudut bibirku terangkat setelah melihat pesannya.

Memang deh, dia memang rekan yang paling tepat!

Brak!!

Aku terkejut. Suara apa itu?

Aku berusaha membuka pintu rumahku, namun sepertinya ini dikunci dari dalam. Aku mencoba menekan bel rumah, namun tak ada yang keluar untuk membuka pintunya.

Apa mereka semua melakukan pembicaraan penting, tanpaku?

Benar-benar deh, mereka anggap aku ini apa? Pihak luar? Bahkan sampai tak mau aku mendengarkan pembicaraan mereka.
Terpaksa aku harus menunggu di luar.

Beberapa saat kemudian..
Pintu akhirnya terbuka.

"Hiks.. hiks... ugh.."
Menampilkan Emely yang keluar dengan menenteng dua buah tas besar.

Emely yang menangis dan pipi kirinya yang merah serta sedikit membengkak, terlihat seperti habis dipukul oleh seseorang?

Nah Emely, apa yang aku ucapkan benar-benar terjadi kan?

Seharusnya kamu mendengarkanku waktu itu, mungkin semua tak akan  sampai jadi seburuk ini. Tetapi, semuanya sudah hancur.

"Hiks.. n-ona, a-anda benar.. se-harusnya... s-saya me-ndengarkan anda.. wa-ktu itu.." Ucap Emely dengan terbata-bata.

"Selamat Emely, akhirnya kamu bisa terbebas dari neraka ini. Sekarang kamu sudah tau kan tentang kebenarannya? Mungkin ini adalah hal yang terbaik untukmu juga. Maaf, aku tidak bisa melakukan apa-apa untukmu."

Aku berjalan melewati Emely.

"Oh, ya.. aku.. turut berduka cita, atas kematian ibumu.."

Selamat tinggal Emely. Mulai sekarang cobalah untuk hidup dengan lebih baik lagi. Tanpa adanya bayang-bayang seseorang.

Alana Telah Tiada! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang