25. Pertimbangan

29 7 0
                                    

Teriakan bu Zenia kini menggema di telingaku. Aku kemudian berbalik badan. Wajah bu Zenia terlihat marah dan tak bisa berkata-kata lagi ketika melihatku. Tidak hanya bu Zenia, ternyata sudah banyak siswa-siswi yang sudah menyaksikan kejadian ini secara langsung. Dan yang membuatku terkejut, sudah ada Lusia dan Arven di samping bu Zenia.

Jadi ini rencana tersembunyi Lusia.

Sungguh licik. Aku memang sudah menduga akan jadi seperti ini. Namun, aku tidak menyangka bu Zenia akan ikut dilibatkan juga. Bahkan lihatlah ini, sudah banyak kamera siswa-siswi yang di arahkan ke arahku. Pasti ini akan menjadi sebuah berita yang viral.

"Artea, ikut saya ke ruang kepala sekolah." Tutur bu Zenia menatap tajam ke arahku. Arven dan Lusia hanya memandangku tanpa sepatah kata pun.

Aku pun mengikuti bu Zenia. Di sambung dengan Arven dan Lusia yang ada di belakangku. Aku melirik Lusia sedikit, dia hanya diam menatap ke arah lain. Aku tahu dia pasti sedang menyembunyikan senyumnya, dia pasti sangat senang karena rencananya kini telah berhasil. Sementara Arven, dia juga hanya diam saja menatap ke arah bawah.

Aku mengalihkan pandanganku ke arah siswa-siswi yang sibuk menonton. Mereka semua berbisik-bisik. Menyebutku iblis, kejam, tukang bully dan lainnya. Aku tak peduli. Aku sama sekali tak peduli. Selama aku bisa menemukan pelaku pembun*h Alana, itu semua sudah lebih dari kata cukup untukku.

Di ruang kepala sekolah...

Sudah ada empat orang termasuk aku yang hanya diam. Suasananya begitu dingin.

Arven kemudian mulai angkat bicara. Sebagai ketua osis SMA Jaya Bangsa, kali ini dia berbicara dengan nada yang sangat cukup serius. "Menurut hukum sekolah ini, sekolah ini sangat melarang keras adanya tindak bullying yang di lakukan oleh siswa-siswi SMA Jaya Bangsa kepada siswa-siswi lainnya yang lebih lemah. Semua pelaku bullying, akan di keluarkan dari sekolah ini."

"Tidak cukup hanya dengan di keluarkan. Bagaimana jika korban bullying memiliki kondisi yang jauh lebih serius, baik dari segi fisik maupun mentalnya. Kalau orang tua korban sampai menuntut si pelaku, mungkin pelaku akan di jatuhi hukuman penjara atas perbuatannya itu." Lanjut Lusia tiba-tiba saja menjelaskan.

Aku kemudian mengangkat pandanganku, menatap ke arah Lusia. "Oh ya, kalau begitu.. bagaimana dengan korban yang bahkan sudah meninggal namun pelakunya tak kunjung di tangkap bahkan tidak di penjara? Si Pelaku bahkan tidak menerima hukuman apa pun sama sekali. Pelaku juga bisa hidup dengan bebas dan nyaman serta menikmati menghirup udara yang segar. Kalau begitu bagaimana?" Tanyaku menatap Lusia dalam-dalam. Lusia hanya membalas menatap tajam.

Bu Zenia yang melihatku dan Lusia seperti akan bertengkar, tidak punya pilihan lain selain menghentikanku. "Cukup! Artea, hentikan sekarang juga!"
Aku menyerah, dan beralih ke bu Zenia. "Artea, kenapa kamu.. sampai harus melakukan hal tersebut?" Tanya bu Zenia, lelah.

"Karena mereka memang pantas mendapatkannya." Ucapku yang segera dibantah oleh Lusia. "Lihat bu Zenia! Dia sangat kejam! Apakah dia masih pantas disebut sebagai seorang siswi sekolah ini, padahal kelakuannya saja sudah sangat tidak terpuji. Artea bahkan sudah banyak terbukti melakukan tindak bullying. Bukankah sudah sepatutnya jika dia di keluarkan dari sekolah ini?"

Mataku terbelalak mendengar tuduhan Lusia. Jadi ini yang dia rencanakan! Dia ingin menyingkirkan ku dari sekolah ini.
Lusia terlihat seperti sedang terburu-buru. Sepertinya ada sebuah hal yang sedang dia tutup-tutupi. Mungkin dia takut hal yang dia sembunyikan akan terbongkar begitu saja olehku. Karena di matanya aku tidak lebih dari seseorang yang dapat mengancam rahasianya.

"Saya tidak pernah membully siapapun!" Tegasku ke arah bu Zenia setelah itu melirik ke arah Lusia.

"Tidak pernah membully? Kalau begitu bagaimana dengan hal-hal yang sudah jelas terpampang di depan mata? Bu Zenia dan Arven juga melihatnya kan?" Ucap Lusia yang kemudian bertanya pada bu zenia dan Arven. Arven kemudian segera membalas ucapan Lusia. "Memang benar bahwa bukti-buktinya sudah cukup terkumpul."

Mendengar hal itu, bibir Lusia seketika terangkat seolah senang karena Arven menyetujui ucapannya. Bahkan dengan malu-malu Lusia mencuri pandang dan menatap Arven.

Apa-apaan itu, menjijikkan.

"Namun, kita juga perlu menunggu sampai siswa-siswi yang menjadi korban sadar dan pulih terlebih dahulu. Setelah itu, kita bisa bertanya pada mereka semua dan memutuskan hukuman apa yang akan di berikan kepada si pelaku." Ucap Arven menatap ke arahku seolah aku memang bersalah.

Menyeramkan. Ucapan Arven tidak ada satu pun yang salah, namun dia seperti menegaskan bahwa 'sudah pasti aku yang bersalah.' Kalau begini, bisa di pastikan kalau semua korban akan angkat bicara bahwa aku yang bersalah. Kalau begitu, apakah aku akan di keluarkan dari sekolah ini begitu saja? Lalu, bagaimana dengan orang yang telah membunuh Alana? Orang itu, akankah kehidupan orang itu akan terus damai?

Kalau begitu, apakah tidak ada keadilan untuk Alana?

Sama sekali tidak ada?

Ah.. tidak, tidak! Aku harus tetap tenang. Aku tidak akan di keluarkan dari sekolah ini dengan mudah! Aku akan tetap berada di sekolah ini apa pun yang terjadi! Aku akan mencari cara lain.

Lusia dengan semangat menyetujui ucapan Arven. "Saya setuju dengan apa yang telah di ucapkan oleh Arven! Bu Zenia juga berpikir begitu kan?'

Tanpa menjawab, bu Zenia hanya mengangguk tanda bahwa dia juga telah setuju.

Aku hanya diam. Tak bisa membantah. Bagaimana bisa aku membantah, kalau pun aku membantah, aku akan langsung dituduh sebagai pelakunya. Sama saja seperti saat nanti hukuman ku sudah di tentukan. Saat ini, aku hanya bisa mengulur waktunya.

Bu Zenia segera menyuruh kami bertiga untuk keluar dari ruangannya. Sebenarnya, aku ingin bicara empat mata dengan bu Zenia, namun aku harus menahannya karena itu bisa membuat Arven dan Lusia curiga.

Setelah kami bertiga keluar dari ruang kepala sekolah. Di depan pintu ruang kepala sekolah itu pula, Lusia berkata padaku. "Dasar perempuan iblis! Kenapa tidak mengaku saja bahwa kamu yang sudah membully siswa-siswi yang lemah itu!?"

Mendengar itu, aku sedikit terkejut. Aku kemudian membuka mulutku. "Tidak bercermin?" Ucapku singkat. Namun aku tahu bahwa Lusia pasti akan segera memahami maksud dari ucapanku.

"Huh? Apa maksudmu..? Yah, terserah, apa yang kamu pikirkan tentangku. Lagi pula orang yang jahat pasti akan segera di hukum. Begitulah harusnya hukum dunia ini berjalan. Begitu juga denganmu! Aku harap kamu segera keluar saja dari sekolah ini. Dengan begitu, kehidupanmu akan nyaman tanpa adanya masalah dan tidak hanya itu, lingkungan sekolah ini akan kembali ke keadaan yang sama seperti biasanya!" Balas Lusia percaya diri dengan menatap Arven di kalimat yang terakhirnya.

Aku lalu menatap keduanya. "Ya, aku tidak peduli jika aku akan di keluarkan dari sekolah ini. Toh, selama aku masih dalam keadaan hidup, aku akan tetap mengejar kebenarannya!" Ucapku dengan lantang ke arah keduanya. "Mengejar.., kebenaran yang selama ini selalu di tutup-tutupi!" Tambah ku yang membuat mereka berdua memalingkan wajahnya. Mereka terlihat sedikit terkejut namun, segera dengan cepat mereka tutupi.

"KA-" Belum selesai, Lusia maju ke arahku dan hampir berteriak. Namun dengan cepat Arven segera menghentikannya dengan berada di antara celah-celah kami berdua.

Aku tertegun untuk sesaat.

Arven yang kini berada di depanku tersenyum. "Sepertinya semua ini hanyalah sebuah kesalahan pahaman."

Kesalah pahaman? Apa-apaan itu?

Aku mengerutkan keningku. "Oh ya? Coba jelaskan apa kesalah pahamannya?" Tanyaku menantang.

"Kita bisa melihatnya nanti, mungkin saja kamu tidak akan di keluarkan dari sekolah ini... kalau begitu, kami permisi.." Ucap Arven kemudian pamit dengan menggandeng tangan Lusia. Lusia hanya diam dan mengikuti Arven begitu saja seolah patuh, tidak hanya itu bahkan sudah terpampang jelas wajah Lusia sangat senang bukan main.

Sedangkan aku hanya terlarut dalam sebuah kalimat yang diucapkan oleh Arven. Aku sama sekali tidak paham dengan jalan pemikiran Arven.



Bersambung...

Terima kasih telah membaca...

Jangan lupa vote, komen, dan share!...
Terima kasih...~

Alana Telah Tiada! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang