28. Janji Yang Terlupakan

21 7 0
                                    

Waktu pulang sekolah, hujan turun dengan begitu deras. Disusul dengan petir yang terus bergemuruh.

Kini, aku telah berada di halte bus. Bukan menunggu bus, melainkan untuk berteduh. Halte bus nampak begitu sepi, hanya ada aku di sini.

Aku memandangi sekitar, banyak kendaraan yang berlaku lalang meski di tengah hujan.

Tin!! Tinn!!!

Tiba-tiba saja, didepanku terdapat sebuah mobil yang berhenti dan terus menerus menyalakan klakson mobilnya. Aku segera bangkit, kemudian menghampiri sebuah mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depanku. Sekarang, aku telah berada tepat didepan mobil itu.

Aku segera mengetuk kaca mobil dikursi penumpang. Kaca tersebut perlahan-lahan turun, menampilkan seorang gadis dengan seragam yang tak asing, seragam SMA Jaya bangsa.

"Apakah kamu punya urusan denganku? Cassandra.."

Cassandra tersenyum. "Banyak."

"Masuklah Artea, ada banyak hal yang harus kita bicarakan.. sebagai seorang 'teman.' Kamu pasti juga butuh tumpangan untuk kembali ke rumah kan?" Suruh Cassandra. Karena sekarang hujannya begitu deras, aku segera masuk ke dalam mobil Cassandra.

Cassandra menatapku. Dia meraih rambutku. "Wahh.. rambutmu jadi basah. Kamu pasti kedinginan karena terus berada di sana. Ibumu itu, kejam ya."

Ibu? Kejam?

Memang sih, kalau saja aku masih punya mobil dan supir. Pasti aku sudah berada di rumah sekarang bahkan sudah berbaring di kasur. Namun, sialnya kenapa mesti di saat-saat seperti ini handphone ku malah mati karena kehabisan baterai. Aku jadi tidak bisa memesan Taxi Online, dan berakhir kehujanan sendirian di halte bus.

Aku menatap balik Cassandra. "Kenapa kamu juga jadi ikut pindah sekolah? Bukankah, sekolah di sana adalah tempat yang bagus untuk membangun bisnismu? Orang tuamu kan berharap banyak padamu. Bagaimana kalau posisimu tergeser lagi?"

"Tergeser oleh siapa? Sejak saat itu, orang tuaku tidak lagi berpikir untuk mengangkat seorang anak. Mereka bodoh jika masih berpikiran seperti itu, mengangkat seorang anak di depan putri semata wayang mereka yang bahkan sudah lebih mampu berkembang sekarang. Lalu, alasan aku pindah sekolah.. itu karena aku punya sebuah urusan yang belum selesai dengan seseorang. Aku masih punya sebuah utang yang cukup besar padanya." Ucap Cassandra melirikku.

Utang? Aku bahkan tidak menghitungnya sebagai utang. Cassandra memanglah putri semata wayang keluarga Jaslnage, tetapi dia dipandang sebelah mata oleh orang tuanya sendiri. Dia dianggap kurang mampu untuk meneruskan bisnis-bisnis keluarga Jaslnage. Cassandra tidak dianggap sebagai seorang penerus, sehingga orang tuanya berencana untuk mengadopsi seorang anak laki-laki yang cukup pintar untuk menggantikan keberadaan Cassandra sebagai seorang penerus yang sah. Namun, sedikit bantuan dariku membuat pandangan Cassandra berubah. Orang tuanya kemudian juga mengakui kemampuan Cassandra yang cepat sekali berkembang.

"Arte, apakah kamu sudah melupakan janji kita?" Tanya Cassandra dengan wajah serius.

"Ya, aku sudah lupa." Balas ku membuat Cassandra marah seketika.

Sebenarnya aku masih ingat. Tapi karena gara-gara kamu, aku jadi dimarahi oleh bu guru tadi. Jadi, anggap saja ini balasan dari tadi.

"Jahat!! Kamu menghilang begitu saja! Sekarang malah pura-pura lupa ingatan! Padahal aku sudah susah payah pindah sekolah, sekarang kamu malah seperti ini.. kamu kejam!!"

Aku mengelus pucuk rambut Cassandra yang begitu halus. Dia rutin sekali ke salon. Rambutnya sangat bagus.

"Aku cuman bercanda kok. Aku tidak pernah lupa."

Mata Cassandra sedikit berbinar.
Mana mungkin aku lupa. Janji yang aku buat dengan Cassandra adalah janji untuk menjadi partner bisnis di masa depan. Kami akan menjadi partner bisnis dan membangun sebuah perusahaan sebagai bentuk kerja sama kami. Seharusnya kami mulai merancang bisnis kami mulai dari sekarang, tapi aku malah menghilang begitu saja seolah pengkhianat yang melupakan janjinya.

Cassandra segera menangkis tanganku yang ada di atas kepalanya. "Kalau begitu, kenapa? Kenapa kamu pergi, bahkan tanpa pamit seperti itu! Memang kamu punya sebuah urusan yang jauh lebih penting dari janji kita?"

"Punya. Bahkan menurutku ini sangat-sangat penting. Bisa saja urusan ini mempertaruhkan hidupku." Cassandra tetap mengamati penjelasanku. Sambil berpikir urusan yang sangat penting apa yang sampai mempertaruhkan hidupku. "Aku harus menangkap pelaku pembunuh Alana! Banyak hal janggal yang mengganggu pikiranku. Kematiannya seolah tak adil."

"Ah! Benar! Ternyata karena Alana ya! Alasanmu pindah untuk menangkap pelakunya? Memang benar sih, banyak orang bodoh yang berpikir dia bun*h diri. Tapi aku juga merasa tidak begitu, yang membuatku kesal adalah keluarganya yang brengsek itu cepat sekali lepas tangan." Ucap Cassandra dengan mengangguk-angguk.

"Tenang saja Arte.. sebagai temanmu, aku akan membantumu menemukan penyebab kematian Alana. Begini-begini, aku juga sudah mengganggap Alana sebagai temanku juga. Jadi, kamu tidak sendirian sekarang!" Tambahnya dengan semangat.

"Baiklah, terima kasih Cassandra.."

Entah mengapa, setelah mendengar ucapan terima kasihku bukannya senang  Cassandra malah kesal.

"Kamu juga sudah lupa ya!! Aku kan sudah bilang untuk memanggilku dengan nama panggilanku! Dasar Arte, bodoh." Marahnya padaku, hanya karena masalah yang.. sepele?

Aku pun menyerah dengan sikapnya yang kekanak-kanakan. "Baiklah, terima kasih ya... Sa-sa."

Matanya bersinar-sinar kembali. Dia sangat senang sekali hanya karena aku memanggil nama panggilannya. Dia bahkan tidak mengizinkan sembarangan orang untuk memanggil nama panggilannya sembarangan. Hanya orang-orang yang dia izinkan yang boleh memanggilnya dengan nama panggilannya, Sasa.

"Ternyata kamu ganti nomor ya.. Jadi, bagaimana dengan Lusia? Kamu bergabung dengan mereka kan?" Tanyaku memastikan.

Akan ada keuntungan yang aku dapatkan sih, kalau Cassandra bergabung dengan mereka. Mungkin, aku akan bisa terhindar dari hukuman ku.

"Oh itu!! Aku.. menolak untuk bergabung dengan mereka. Habisnya, mana mungkin aku berani mengkhianatimu." Jawab Cassandra dengan percaya diri.

Aku memegang kepalaku yang tak pusing. "Sasa, kamu bodoh.."

Padahal undangan bergabung bisa saja menjadi sebuah keberuntungan hanya satu kali dalam sehidup. Dengan begitu, mungkin kita bisa menemukan pelaku pembunuh Alana dan bisa menemukan sedikit bukti untuk meringankan hukuman ku.

"Apa? Jadi yang aku lakukan itu salah? Aku kan tidak mau mengkhianati temanku. Lagipula..." Cassandra segera mencari handphonenya yang ada di dalam tas, dan memegang handphonenya tepat didepanku. "Aku punya sebuah bukti tentang perkumpulan mereka yang sangat rusak dan tidak bermoral itu."

Aku segera mengangkat bibirku. "Seperti yang diharapkan dari seorang penerus keluarga Jaslnage. Aku tarik ucapanku tadi, kamu tidak bodoh. Kerja bagus, Sasa!"

"Terima kasih atas sanjungannya. Kamu tau, berada diantara mereka membuatku ingin muntah seketika di tempat itu juga bahkan di hadapan mereka yang busuk itu." Ucap Cassandra, menyerahkan handphonenya padaku.

"Hebat juga kamu bisa bertahan di sana. Mereka memang sangat busuk, tapi mereka tidak ada apa-apanya tanpa Lusia sebagai pemimpin mereka. Otak mereka sangat kosong, mereka hanya tau cara bersenang-senang. Dan yang menjadi otak mereka ditengah itu semua adalah, Lusia." Ujarku, dengan segera melihat isi foto-foto dan video yang dimiliki oleh Cassandra.

Buktinya sudah lebih dari cukup untuk melakukan pembelaan. Meskipun tidak cukup untuk sampai menghapus hukumannya. Mengingat, aku telah memukul mereka dengan sengaja. Tapi dengan bukti ini, hukuman ku akan sedikit diringankan.



Bersambung...

Terima kasih telah membaca...

Jangan lupa vote, komen, dan share!...
Terima kasih...~

Alana Telah Tiada! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang