2. Sekolah Baru

176 8 0
                                    

"Aku akan pindah sekolah."

Emely terlihat terkejut mendengar apa yang telah aku ucapkan. Dia terlihat gelisah.

"Nona, mohon pikirkan baik-baik tentang rencana anda." Pinta Emely.

"Aku sudah memikirkannya. Keputusanku sudah bulat! Dan kamu, jangan menghalangiku! Kamu tahu kan apa yang akan terjadi, kalau kamu menghalangiku?" Ancamku.

Wajah Emely seketika pucat.
"Saya.. mengerti nona.."

"Bagus! Kalau begitu.. Emely, bilanglah kepada pak Evan tentang rencanaku untuk pindah sekolah. Suruh dia untuk mengurus semuanya." Perintahku.

Pak Evan adalah orang kepercayaan dari keluarga ini. Namun, sepertinya akhir-akhir ini dia sudah berpaling dan berganti pihak dari yang semula berpihak pada keluarga utama atau keluarga ini. Lalu sekarang, dia secara diam-diam berganti pihak dan bergandengan tangan dengan kerabat luar dari keluarga ini.

Yah, memangnya aku harus peduli,
pada apa yang telah menimpa keluarga ini? Toh dari awal, aku memang bukanlah anggota asli dari keluarga ini. Ah.., tidak..! Keluarga inilah yang pertama kali memulainya, merekalah yang duluan tidak menganggapku sebagai anggota keluarga mereka. Jadi, aku hanya mengembalikan apa yang telah mereka berikan padaku.

"N-nona... apa tidak sebaiknya.. anda membicarakan ini dengan nyonya..?" Ucap Emely sedikit gemetaran, seolah takut akan sesuatu.

Kutatap Emely dengan tatapan tajam. Dia pun langsung paham dan berhenti bicara. Dan, pamit undur diri.

"Untuk apa bicara dengan orang yang sedang sakit.." Gumamku.

Beberapa hari kemudian...

Aku sudah bersiap-siap untuk pergi ke sekolah baruku.

Aku melihat ke arah cermin yang ada tepat di depanku. Seragam Sma Jaya Bangsa yang berpadu dengan warna hitam dan putih. Kemeja putih berlengan panjang, bawahan rok berwarna hitam, dasi yang juga barwarna hitam. Dan yang terakhir, jas berwarna hitam dengan logo Sma Jaya Bangsa.

"Seragamnya.. lumayan juga."

Lalu, aku pun mengikat rambutku yang bergelombang dengan pita berwarna putih. Kusisir poniku. Setelah itu, aku pun memakai kaos kaki dan sepatu. Serta membawa tasku untuk segera turun dan sarapan.

Aku berjalan, menuruni anak tangga satu demi satu. Setelah itu menuju ke ruang makan.

Aku sedikit terkejut karena ada ibuku yang sudah menunggu di meja makan. Padahal sudah berhari-hari dia tidak keluar dari kamarnya.

Ku tarik kursi yang ada di depan ibuku. Duduk. Lalu ku nikmati sarapanku. Roti bakar dengan selai coklat dan segelas susu hangat.

Rasanya tidak enak.

Ibu yang terus menatap ke arahku dengan tatapan kosong. Membuat makanan yang aku makan, ingin segera aku muntahkan.

Dengan buru-buru, aku pun meneguk segelas susu. Dan hendak pergi dari suasana yang rumit itu.

"Saya sudah selesai sarapan. Kalau begitu, saya permisi.."

Drekk..

Ibu juga ikut bangkit dari kursinya. Ibu segera menunjuk ke arah kursi yang tadi aku duduki.

"Vlora.. duduklah." Ucapnya, sambil tersenyum.

Deg.. deg.. deg!

Huh.. Vlora?

Alana Telah Tiada! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang