9. Worry?

645 84 3
                                    

Jilan langsung menggendong Jidan menuju kamarnya, lalu merebahkan tubuh Jidan dikasur. Ia melihat sang adik dengan tatapan sendu melihat wajahnya yang pucat dan dan bibirnya yang membiru.

"Kau tidak apa apa?" tanya Jilan.

Sontak Jidan membulatkan matanya tidak percaya Jilan mengatakan itu. Baru pertama kali ia mendengar ucapan itu setelah beberapa tahun yang lalu.

"Aku tidak apa apa" jawab Jidan
lemas.

Jilan langsung mengambil termometer di laci meja Jidan, ia pernah menaruh benda itu di kamar adiknya. Walau Jilan cuek sebenarnya hatinya selembut sutra.

"Buka mulutmu" perintah Jilan.

Jidan langsung membuka mulutnya karena di perintahkan Jilan. Ia sebenarnya Jidan adalah seorang yang penurut walau kelihatan cuek dan dingin.

Tiitt....

Jilan langsung mengambil termometer dari mulut Jidan. Jilan benar benar tak bisa berkata kata. Jilan menghawatirkan Jidan? Mungkin.

40 C°

Mata Jilan membulat kaget. Ia tak percaya menatap termometer ia sungguh benar benar khawatir sekarang. Kenapa Jidan bisa sepanas itu?

"Yakkk, badanmu panas" ujar Jilan.

"Aku tidak apa apa, aku hanya butuh istirahat" jawab Jidan.

Tidak apa apa? Badannya sangat panas dan Jidan berbicara tidak apa apa. Sungguh aneh kenapa Jidan selalu mengatakan bahwa dirinya baik baik saja. Ia tidak pernah berbicara kalau di sedang tidak baik baik saja bukankah bagus kalau ia mengatakan bahwa ia tidak baik baik saja.

"Seterah kau saja, selama kau tak menyusahkan" umpat Jilan.

Walau Jilan sangat dingin sebenarnya ia sedikit peduli pada Jidan. Jilan sebenarnya merasa kasihan kepada Jidan tapi gengsinya lebih besar ketimbang rasa kasihan nya.

"Hm" jawab Jidan.

Jilan langsung keluar kamar Jidan dan menutup pintunya. Ia keluar dari kamar sang adik dengan tatapan sendu. Ia merasa bersalah? Sedikit.

"Ada apa dengan anak sialan itu" tanya Jilan dan di beri anggukan oleh Melvin.

"Anak itu demam" jawab Jilan.

"Apakah kita perlu mengompresnya?" tanya Jilan kembali.

"Seterah kau saja, aku ingin ke kamar" jawab Jivan.

Jivan menutup pintu kamarnya lalu merebahkan tubuhnya di kasur. Ia juga sebenarnya merasa khwatir dengan Jidan tapi terhalang oleh rasa gengsinya. Kenapa mereka tidak menemani Jidan saja? Harusnya mereka ada untuk Jidan di saat Jidan sakit.

"HUFTTT" hela Jivan.

"Apakah demam anak itu tinggi?"

"Apakah anak itu baik baik saja"

"Kenapa aku jadi menghawatirkan anak itu"

"Dia adalah orang yang paling aku benci"

"Sudahlah untuk apa aku pikirkan, hanya menambah beban kepala saja"

Jivan bingung kenapa dia tiba tiba menghawatirkan Jidan kenapa pikirannya tiba tiba kesitu? Bukankah ia ingin Jidan pergi dari kehidupannya. Mereka semua ingin Jidan pergi dari kehidupannya.

"Apakah demam anak sialan itu tinggi?"

"Hm, suhu badanya juga 40 C°"

"Kau serius?!"

"Hm"

Kenapa Jivan tidak memeriksa nya langsung bukankah lebih bagus ia melihat adik bungsunya itu. Bukankah Jivan khwatir? Kenapa ia lebih mementingkan gengsi ketimbang rasa khawatir pada Jidan.

aku juga ingin bahagia [ terbit ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang