24. Halmonie

435 60 1
                                    

Sesampainya di rumah Jidan dan Jivan di sambut oleh sang nenek dia lebih dulu sampai dari pada Jivan dan Jidan. Wajah Nia seketika menjadi warna merah karena melihat Jidan yang pulang dengan keadaan yang sangat berantakan. Nia langsung menghampiri nya dan langsung menampar wajah sang cucu.

Plak!

"Kau berkelahi?! Apakah kau tidak malu dengan kelakuan mu? Aku saja sangat malu melihat kelakuan mu!"

Jidan tak berniat untuk menjawab ia hanya bisa menundukan kepalanya tak berani menatap raut wajah dang nenek yang sedang marah.

"Aku heran, kenapa Hana melahirkan anak pembunuh seperti mu?! Aku bahkan malu memiliki cucu seperti mu!"

Jivan hanya menatap sang nenek yang sedang memarahi adiknya dengan tatapan yang sulit di artikan. Ia tidak tahu harus berbuat apa, mana mungkin ia melawan sang nenek.

Jidan masih menundukan kepalanya, semua yang di katakan neneknya memang benar. Kenapa Hana melahirkan anak pembunuh? Jidan juga berfikir kenapa ia di lahirkan?

"Jika bisa, aku juga tidak ingin ada di dunia ini, nek..."

"Maaf karena membuatmu malu memiliki cucu sepertiku"

"Kenapa bunda bisa memiliki seorang putra seperti ku?"

"Sedangkan kak Melvin, kak Jilan, dan kak Jivan sangat berbeda dengan ku, aku juga ingin bisa seperti mereka bertiga. Anak yang bisa di banggakan tak membunuh orang tuanya, sedangkan aku? Aku malah membunuh orang tuaku sendiri. Aku sangat menyesal"

Tak ada jawaban dari Nia ia hanya bisa diam sambil menatap Jidan dengan tatapan sedikit sendu. Apa yang baru saja ia katakan terlalu kasar? Jivan juga ia tak ada jawaban bahkan tak mengeluarkan sepatah kata pun.

"Masuk ke kamarmu, aku merasa mual melihat wajah seorang pembunuh"

Jidan hanya mengangguk ia langsung menaiki tangga dan duduk di meja belajarnya. Ia lantas membuka laci mejanya dan mengambil obat sebab dari tadi ia menahan rasa sakit di kepalanya.

Jiwang mengambil obat itu langsung sembilan butir agar rasa sakit di kepalanya bisa mengurang.

"Bunda... Jidan kejam, ya? Apa yang di lakukan Jidan akan terus salah, kenapa Jidan tidak bisa seperti kakak?"

"Maaf telah membuatmu pergi dan meninggalkan kita semua"

"Jidan ingin menyusul, ya? Jidan sudah tidak bisa menahan rasa sakit ini semua. Jidan sudah tidak kuat memendamnya lebih lama lagi"

"Jidan tak sekuat apa yang bunda bilang, Jidan lelah bunda, Jidan ingin menyusul, hiks..."

Akhirnya air mata yang ia tahan kini terjatuh, kenapa Jidan selalu memendamnya seorang diri? Jika ia lelah setidaknya ia menceritakannya agar hati nya sedikit lebih lega.

Saat ia ingin menaruh obatnya kembali ia salah fokus pada kunci kamar kedua orang tuanya. Ia berfikir untuk masuk ke kamar orang tuanya namun tidak sekarang.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
aku juga ingin bahagia [ terbit ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang