3. |Kesekian Kali|

744 78 16
                                    

All we need just heal》

_I.N_

Kesekian Kali ▪︎

===================================

☘☘☘

"Besok final basket ya?"

Esa berhenti sejenak dari mengibas baju kering di jemuran. Pram yang bersuara. Esa di balkon, bisa mendengar jelas suaranya. Rumah mereka memang hanya sepetak kotak tanpa sekat. Di lantai lima, terdapat balkon kecil tempat menjemur pakaian dan tempat Pram meyalurkan kecintaannya pada tanaman.

"Iya dong..." sahut Esa sambil tersenyum saat Pram mengambil alih pakaian kering di tangannya. Pram melipat seragam Esa di ruang tamu. Ruang tamu yang juga menjadi ruang keluarga, ruang makan sekaligus kamar tidur mereka.

"Sudah mulai bertunas, Mas," suara bersemangat Esa melebur bersama deru kendaraan di terminal. Balkon mereka memang mengarah langsung ke area belakang terminal yang hampir setiap malam selalu dijadikan tempat berkumpul anak-anak sekitaran. Disebutnya sih geng motor. Tapi aslinya, dari sepuluh anggota, kurang dari setengah yang punya motor. Sisanya bonceng tiga. "Lumayan nggak usah beli cabe kalau lagi pengin mie setan."

"Jangan dimainin, Sa. Mati nanti," Pram seperti bisa menebak apa yang tengah Esa lakukan tanpa harus melihat dengan mata.

Esa yang memang tengah memain-mainkan tunas cabai rawit itu cepat-cepat menarik tangannya. Ia elus cabai hijau kecil itu pelan. "Tumbuh subur ya. Biar nanti aku bisa cabein mulut Mas Pram," bisik Esa pada dahan cabai yang bergoyang karena sentuhan.

"Emang sepatunya nggak licin buat lari?" Pram memasukkan lipatan baju pada lemari plastik di pojok ruangan saat Esa menutup pintu balkon, masuk ke dalam rumah.

"Enggak. Nyaman-nyaman aja. Lagian yang penting kan nggak nyeker," sahut Esa dari dapur, masih di ruangan yang sama, mencuci tangannya yang kotor karena menggeser pot cabai. "Mas?" panggil Esa.

"Hm?"

"Mas?"

"Apa, Sa?"

"Noleh sini coba."

Lalu tepat saat Pram menoleh, tangan Esa yang dingin dan basah mengenai pipi kanannya. "Esa!!!" Pram berdecak, mengusap pipinya dengan lengan bajunya. Esa terbahak sampai berguling-guling di kasur, di samping Pram.

"Elo kapan gedenya sih!!" sungut Pram sambil memukul Esa dengan bantal tipis bersarung merah bata.

"Elo juga kapan kapoknya?" jawab Esa masih dengan tawa, "Udah puluhan kali juga, masih kena aja."

Pram tersenyum tipis melihat Esa tertawa dengan bantal menutup wajahnya. Renyah tawa Esa adalah alasan ia rela berpura-pura bodoh puluhan kali.

"Nih."

Esa membuka wajahnya yang memerah. Dengan sisa senyum di bibirnya, ia menatap Pram yang sudah berdiri menjulang di hadapannya. Mengasongkan bungkusan warna merah ke arahnya.

"Ini apa?" dari bentuk, ukuran dan beratnya, sebetulnya Esa tau betul apa isinya, tapi masih memilih bertanya.

"Buka aja," jawab Pram singkat, mengambil ruang di samping Esa. Mereka duduk berbersisihan dengan bahu saling bersentuhan, karena ukuran kasur yang memang tidak terlalu besar.

Esa mengusap pelan bungkusan yang sedikit basah oleh tampias hujan sewaktu Pram dalam perjalanan pulang. Nampak sederhana. Dibungkus kertas kado polos ala kadarnya. Senyum tipis di bibirnya, lebih lebar di dadanya.

INTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang