《All We Need Just Heal》
● Atas Dasar Saling Percaya ●
■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■
Kerikil pecah di pelataran. Gesekan ban bus dengan aspal yang mengangkut tim basket kembali ke sekolah. Diikuti rombongan tim sorak di belakangnya.
Satu-satu keluar bergantian, berangkulan. Dari pintu depan, dari pintu belakang. Dengan sorak sorai. Dengan canda tawa. Dengan rasa bangga teramu kental di wajah mereka.
Mahesa keluar setelah bus hampir kosong. Ganesha berdiri di belakangnya. Semilir angin menggoyangkan batang pohon pinus, daun-daunnya bergesekan menciptakan bunyi bunyi seperti nyanyian menenangkan.
Esa menghirup napas dalam-dalam. Sedalam yang bisa melegakan paru-parunya. Angin meniup rambutnya yang tidak lagi basah. Ia membuka mata saat ada yang berteriak dan merangkulnya turun dari anak tangga pintu bus.
"Gue bilang juga apa, bukan anak sembarangan ini mah," ialah Ganesha, yang membawanya ke tengah kerumunan. Tinggi Mahesa yang hampir sama dengan Faro membuat Ganesha sedikit berjinjit merangkul pundaknya. "Tinggal diasah sedikit lagi, lu bisa jadi the next MVP tetap dari Gardacitya, tuh," Ganesha mengarahkan mata dan dagunya menunjuk Faro.
"Nggak lah, Bang. Masih baru banget," sanggah Esa. Bagaimana pun pujian yang ia terima, Esa tetap merasa kemampuannya jauh berada di bawah Faro dan senior lainnya.
Ganesha berdecak, "anak baru emang suka merendah untuk meroket gitu ya, Ro?" candanya pada Faro yang diakhiri dengan tawa.
Coach Carter pun ikut bergabung. Menepuk pundak Mahesa dengan senyum memgembang diwajahnya. "Latihan dengan lebih giat, jaga fokus, kamu akan jadi pemain hebat."
Mahesa mengangguk dan membalas senyuman dengan merangkul pinggang Coach Carter. Banyak pujian ia terima atas penampilannya hari ini. Tawaran pun tak terelakan. Mahesa secara resmi dipaksa untuk bergabung pada tim basket kebanggaan Gardacitya. Semua bersuka cita. Semua menikmati kemenangan dengan bahagia.
Hingga tiba-tiba perhatian teralihkan pada Yuan. Rekan sekelas Esa yang tiba-tiba berlari menghampiri mereka.
"Sa!!!" Yuan berteriak. Menghampiri mereka dengan napas terengah.
Mahesa menoleh dengan sisa senyum di wajahnya. Perlahan luntur oleh kabar yang disampaikan Yuan setelahnya.
"Tadi ada orang tua dan anak Altarada yang datang marah-marah nggak terima anaknya dibikin babak belur," lanjut Yuan patah-patah tersengal napasnya.
Suasana hening seketika. Bian yang baru saja tiba di dekat mereka langsung mendekat. Berjaga pada tiap gerak-gerik sahabatnya.
"Lihat nih," Yuan memutar video berdurasi lima belas detik yang direkam oleh kelompok paduan suara pagi tadi di hadapan Esa. "Tadi pas lagi upacara, tiba-tiba mereka datang. Si Bapak teriak-teriak pas Pak Toni coba ngehalau."
Esa meremas telapak tangannya. "Di mana mereka sekarang?" suara yang tertahan oleh rahangnya yang mengerat.
"Ruang Miss Janet," Yuan menunjuk ke arah bangunan di sisi barat daya.
Esa berlari secepat yang ia bisa. Acuh pada Bian yang berusaha menahannya. Esa berlari di sepanjang koridor yang penuh dengan siswa. Ada yang bergerombol mengamati. Ada yang terang-terangan bergunjing. Esa berbelok di ujung koridor, menuju ruangan di depan taman dengan air mancur besar. Ia lantas meraih gagang pintu dan membuka ruangan tanpa mengetuk terlebih dahulu.

KAMU SEDANG MEMBACA
IN
Teen FictionMenepilah. Jika segala tentang hilang terbilang bahagia. Jika segala gundah terbayar suka. Jika hadir bukan lagi pelipur lara.