5. |Membebat Pekat|

550 69 17
                                    

《All We Need Just Heal》

Padamnya Terang

■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■

"Bulan ini 500.000 potong utang kemarin jadi tinggal 175.000."

Mahesa membelalakan mata saat ia hanya menerima upah sebesar Rp175.000 dari usahanya bekerja dalam satu bulan penuh tanpa libur. Hutangnya hanya Rp200.000. Namun ternyata, bunga dari hutang itu tidak main-main besarnya.

"Hutangnya saya cicil aja, Koh. Tambahin dikit lagi bisa nggak?" ia memelas. Kebutuhan sekolahnya sedang banyak. Belum lagi ia harus membayar air, listrik dan uang makannya sehari-hari.

Pemilik toko sembako yang terkenal kikir itu menolak tegas. Ia membanting uang-uang yang ia pegang ke atas meja sembari menyenderkan tubuhnya ke kursi dan bersedekap dada. "Nggak bisa! Lu pikir gua tukang kredit?! Kalau lu nggak puas dengan bayaran lu, sana! Cari kerja di tempat lain!"

Bentakan keras itu menggema. Seluruh karyawan melongok ke arah mereka. Esa tak bisa melawan. Ia akhirnya mengangguk dan pergi. Dari pada dipecat, lebih baik Esa pusing memikirkan bagaimana mengelola uang Rp175.000 untuk hidupnya selama satu bulan ke depan.

Mahesa berjalan dengan tangan kanan memijat bahu kirinya. Bahunya kaku. Merambat hingga ke leher dan semakin terasa nyeri saat digerakkan. Tubuhnya lelah setelah satu harian ini ia paksakan bekerja.

Dua bulan setelah kepergian Pramudia, duka jelas masih menyelimutinya. Namun, apa yang bisa Esa lakukan selain berlapang dada menjalani ketetapan dan berusaha melanjutkan hidupnya?

Ada keringat Pramudia yang masih harus ia bayar. Ada cita-cita warga rusun yang harus ia wujudkan. Hanya dengan berbekal dua keyakinan itu, Mahesa mampu berdiri di tengah badai yang menggempurnya habis-habisan. Hanya dengan dua keinginan itu, Mahesa mampu mengokohkan kaki dan tubuhnya untuk selalu tahan pada tiap kondisi yang harus ia lalui.

Pramudia bukan orang kaya. Kehidupan mereka dulu hanya serba ada. Gaji satu bulan akan habis untuk satu bulan. Bahkan kurang. Oleh karena itu, selepas kepergiannya, Esa tidak memiliki tabungan. Ia harus bangun pagi hari lalu berangkat ke sekolah dengan membawa masakan yang dibuat oleh Bude Rini untuk dititipkan di kantin sekolahnya. Ia juga membuka jasa mengerjakan tugas sekolah dengan bayaran tertentu dihitung dari kesulitan tugas mereka. Sepulang sekolah, ia harus pergi ke toko sembako di pusat kota untuk bekerja paruh waktu. Hingga malam hari pukul 7, ia masih harus melanjutkan mencari uang di restoran yang buka 24 jam.

Semua Mahesa lakukan untuk menyambung hidupnya. Apa tidak ada yang membantu? Jawabannya sangat banyak. Bude Rini selalu melarangnya bekerja. Zaki dan Faris juga selalu bilang bahwa Mahesa tidak perlu khawatir. Mereka yang akan menggantikan peran Pramudia dalam mencari nafkah untuk Esa.

Namun sekali lagi, Mahesa harus sadar diri. Dari kehilangan Pramudia, ia banyak belajar bahwa tidak ada satu pun manusia yang dapat ia jadikan tempat bergantung. Hanya kepada dirinya lah Esa bisa menggantungkan seluruh harapannya. Esa juga tidak mau menyulitkan saudara-saudara di rusun. Zaki, single parent yang memiliki tiga orang anak yang masih bersekolah. Faris, bekerja banting tulang menempuh segala jalan karena harus membiayai ibunya yang sakit keras di kampung halaman, belum lagi dengan dua adiknya yang masih bersekolah. Bude Rini, wanita itu bahkan harus mencari nafkah seorang diri dengan berjualan setelah suaminya terkena serangan stroke satu tahun lalu.

Maka, hati mana yang akan tega menambah beban pada hidup mereka yang sudah kesulitan. Bukan bermaksud mengecilkan, namun jika bisa, Esa malah ingin membantu kehidupan saudara-saudaranya itu.

INTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang