6. |Tak Seindah Malam Kemarin|

573 80 17
                                    

《All We Need Just Heal》

Tak Seindah Malam Kemarin

■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■

+6288899943**
Sa, shareloc alamat.
Gue mau ke sana.
Bian.

Matahari meninggi. Sinarnya masuk melalui celah-celah kecil jendela besi. Berpola bulat terang di lantai. Asap tipis-tipis terlihat jelas diterpa cahaya datang.

Pagi hari Mahesa menjadi produktif. Ia sudah mencuci pakaian, menjemurnya, menyapu, ngepel dan memanaskan makanan yang semalam ia bawa. Ia sudah membagikan alamatnya pada Bian dan mungkin anak itu akan segera datang. Jadi rasanya tidak mungkin jika Esa tidak menyiapkan apa-apa.

Suara ketukan pintu terdengar. Mahesa membuka dan benar saja, ada Bian di sana. Ia datang membawa dua tas besar di tangannya.

"Sa!!"

Bian menerjang masuk ke dalam dengan riang. Esa tidak bisa mencegah. Anak itu langsung duduk dan membongkar isi kedua tas besarnya. "Oleh-oleh dari Jakarta buat lo dan Mas Pram," ucapnya senang.

Mahesa menggeleng heran. Ia beralih ke dapur kecil miliknya. Meraih gelas dan mengisinya dengan air yang tadi ia masak. Kemudian menyuguhkannya ke hadapan Bian lengkap dengan kue surabi cokelat buatan Bude Rini yang diantar tadi pagi.

"Minum dulu," katanya. "Bawa apa sih?" Esa melihat barang bawaan yang sedang dikeluarkan Bian. Semuanya berisi makanan. Entah apa saja rupanya, yang jelas sangat banyak dan Esa tidak mungkin akan menghabiskan.

"Mas Pram ke mana, Sa? Kok nggak kelihatan?"

"Lo telat," ada cekat yang ia tahan saat mengucapkannya.

"Yah, udah berangkat kerja? Kangen banget gue padahal. Udah lama nggak ketemu, tapi ya udahlah, nanti bisa main lagi pas dia udah balik."

"Gue juga kangen," lirihnya. Hanya bergumam sampai tidak terdengar.

"Kerja di mana Mas Pram?"

"Mas udah nggak ada, kecelakaan dua bulan lalu."

Bian menghentikan kegiatannya. Pandangannya kosong menatap oleh-oleh yang ia bawa. Panas di matanya mulai terasa. Jantungnya berdetak lebih dari biasanya. Pramudia, kakaknya, kakak mereka, sudah tidak ada dan Bian tidak tahu. Ia bahkan belum sempat meminta maaf karena tidak memenuhi janjinya untuk menjaga Esa sampai Pram datang menjemput mereka.

Bian lemas. Ia langsung bersandar pada dinding di belakangnya. Bukan hanya kabar tentang Pramudia yang membuatnya terkejut, namun membayangkan bagaimana dua bulan ini sahabatnya lalui dengan berat. Membayangkan bagaimana perasaan Esa saat lagi-lagi harus kehilangan orang yang ia sayang. Dan Bian semakin merasa bersalah untuk itu. Merasa bersalah karena dirinya pernah turut andil dalam segala kesengsaraan dan kesendirian yang Esa rasakan.

Bian menoleh. Menatap Mahesa yang juga masih terdiam. "Lo kenapa nggak cari gue?" tanyanya lirih.

Senyum Mahesa tersungging tipis. "Buat?"

"Buat bantu lo lah!"

Mahesa tertawa. Sumbang. Terdengar kecewa itu masih ada dan Bian bisa menangkapnya.

INTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang