4. |Padamnya Terang|

952 99 7
                                        

《All We Need Just Heal》

Padamnya Terang

■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■

Hari ini, bisu langit biru menjadi saksi, seorang anak lelaki yang berusaha berdiri tegap di hadapan semua orang. Dalam lebur lebam hatinya, ia ulurkan kedua tangan untuk menyambut dan memeluk jenazah Pramudia di dalam liang. Ia tunaikan kewajiban terakhir pada sang Kakak di dunia. Azan berkumandang, nyaring terdengar mengundang badai para pelayat yang datang. Nada bergetar di tengah hening penuh kesedihan.

Mahesa usap sekali lagi wajah seseorang yang telah membesarkannya. Ia melepaskan sandaran hidupnya dengan ribuan doa yang sudah ia tata di kepala. Untaian rasa terima kasih dan rasa bersalahnya.

"Terima kasih ya, Mas," Mahesa berbicara tanpa rasa. Bibirnya terkatup rapat, menahan sesuatu yang hendak membludak keluar agar tidak bercecer berhamburan dari mulutnya.

Bagi Mahesa, Pramudia seumpama telaga yang luas dan dalam. Padanya ia tumpahkan segala keluh, kesah, resah dan gelisah yang membuncah. Dengannya ia bagikan segala tawa, suka, cita dan bahagia. Namun, kini telaganya telah dingin dan beku. Tertutupi kafan putih yang kaku. Esa hanya percaya, atas semua pengorbanan Pramudia untuknya, Kakaknya akan mendapat surga.

Mahesa menegakkan tubuhnya. Menerima uluran tangan yang membantunya naik dari liang. Tanah mulai menutup kehidupannya di dalam sana. Seperti itu juga hari-hari Esa yang ada dalam bayangan otaknya. Mahesa memejam, silau oleh cahaya yang pecah dipantulkan air menggenang di pelupuk mata. Mahesa, remaja terkuat, sudah berusaha menunjukkan bahwa ia rela.

Semua penghuni rusun berdiri di sana. Mengantarkan salah satu saudara mereka ke peristirahatan terakhirnya. Suasana duka sangat terasa. Sembab mata mereka menjadi saksi kebaikan Pramudia yang tak terhingga.

☘☘☘

"Gimana sih ceritanya?"

Faris duduk bersisian dengan Zaki di ruang kosong kamar Pramudia. Pengajian malam pertama baru selesai diadakan dengan sederhana. Walau hanya dengan sajian seadanya, makna dari mengirimkan doa tetap terlantun untuk menemani langkah Pramudia di tempat barunya. Faris baru dapat kabar pagi tadi melalui grup rusun. Ia langsung izin dan berpamitan pada tamunya agar dapat pulang lebih awal dengan alasan saudaranya meninggal dunia. Ia terkejut bukan main. Pasalnya, baru sore kemarin Pramudia membayar hutang dari uang yang dipinjamnya. Faris ingat betul, lelaki itu mengucapkan terima kasih karena telah sudi direpotkan dan berkat uang yang Faris pinjamkan, Mahesa dapat memenangkan pertandingan basketnya. Pramudia berbicara dengan nada bangga dan Faris ikut senang mendengarnya. Namun siapa sangka, umur manusia memang setipis itu batasannya.

Bude Rini datang membawa makanan untuk warga rusun yang masih duduk-duduk untuk bercengkerama. "Kita belum tau pastinya karena Esa juga belum bisa diajak ngomong, Ris. Tapi kata warga yang ada di tempat kejadian, mereka lihat Pram lagi telfon sambil mau nyebrang jalan. Ternyata dari arah pos polisi bus kowan masuk, ngebut, ya udah kejadian," terang Bude Rini dengan nada sendunya.

"Udah diamanin polisi supirnya, kayaknya sih ngantuk. Liat aja, bebas nanti gue gebukin itu orang!" Emosi Zaki meledak. Ia masih tidak habis pikir, bagaimana mungkin ada bus masuk terminal dengan kecepatan tinggi seperti itu.

Faris menganggukan kepala. Bersandar pada dinding di belakangnya. "Esa gimana?"

Sedari tadi, yang ada di pikirannya hanya Mahesa. Ia tahu, anak itu sudah tidak punya keluarga selain Pramudia. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya hati anak sekecil itu harus ditinggalkan satu-satunya orang yang masih ia punya untuk bersandar.

"Anak itu nggak ada nangisnya. Dari di rumah sakit sampai Pram dimakamin," Zaki yang berbicara. Ia yang menemani Esa dari mulai mengantar Pramudia ke rumah sakit sampai pengajian malam ini. Lelaki itu pula yang menjadi saksi, tak ada sedikit pun air mata Esa yang tumpah. "Dia harus bisa nyalurin sedihnya, biar nggak berkepanjangan."

"Esa tinggal sendiri, Bang," tutur Faris lirih. "Nggak ada lagi keluarganya. Cuma sisa si Pram."

Faris mengusap wajahnya. Helaan napas terdengar dari beberapa orang di sana.

"Si Esa adek kita, Ris. Anak kita. Dia yang nantinya bakal banggain dan ngangkat derajat warga rusun. Kita harus jagain dia, bikin dia nggak ngerasa sendiri biar Pram tenang di sana karena adeknya kita jagain."

Mereka kompak mengangguk. Bagi mereka, Mahesa adalah secercah cahaya dari gulita. Anak yang mereka besarkan dengan penuh kasih sayang. Anak yang mereka banti jaga siang dan malam saat Pram harus bekerja. Anak yang mereka harap dapat membanggakan mereka di masa depan.

Mereka akan menjaga Esa. Walau dengan segala keterbatasan yang ada. Setidaknya itu janji yang Zaki gumamkam di hadapan Pramudia pagi tadi.

Setelah selesai bercengkerama, mereka memutuskan untuk kembali ke kamar Esa. Anak itu tadi pamit duluan. Ingin istirahat sebentar katanya.

Bude Rini mengetuk pelan kamar Esa. "Sa..."

Masih hening tidak ada jawaban.

"Mahesa..."

Hingga ketukan kedua akhirnya membuahkan hasil. Mahesa keluar dengan lengkung senyum tipisnya. Bawah matanya menghitam. Wajahnya kuyu pasi tanpa rona kebahagiaan. Tatapannya tidak berbinar.

"Makan dulu, yuk," Bude Rini mengusap kepala anak itu. Menata anak rambutnya yang berantakan. "Esa mau makan apa?"

"Iya mau makan apa, Sa? Nanti Abang cariin."

Mahesa menolak halus. Ia tidak bisa makan. Tidak berselera. "Aku makan roti aja nanti," jawabnya.

Inginnya hanya satu. Tidur. Ia ingin tidur dan terbangun dari mimpi buruknya. Ia ingin tidur dan terbangun dengan Pramudia di sisinya.

Faris dan Zaki menatap anak itu khawatir. Seingatnya, Pramudia pernah berpesan jika Esa memiliki lambung yang cukup sensitif. Tidak boleh telat makan. Tidak boleh terlalu banyak makan. Tidak boleh makan terlalu pedas, terlalu asam dan teelalu berlemak.

"Abang nginep sini ya, Sa?"

"Atau nginep di rumah Bude aja yuk? Nanti tidur sama Bapak, gimana?"

Kekeh, Esa menggeleng untuk kesekian kalinya. "Terima kasih Bude, Bang, aku nggak apa-apa," jawabnya dengan seulas senyum manis dari wajah sendunya.

"Tapi janji kalau ada apa-apa bilang ya?"

Mahesa mengangguk. Ia menolak siapa pun yang ingin menemaninya malam ini. Bagi Esa, ia tidak sendiri. Pramudia masih di sini. Masih akan menemaninya melalui malam gelap di atas kasur tipis mereka. Sambil bercanda dan bertukar cerita.

Esa menutup pintu dan menguncinya setelah tetangga rusun kembali ke rumah mereka dengan terpaksa. Mahesa rebah di atas kasur tipisnya. Tidur meringkuk dengan mata menatap bingkai foto kecil yang ia pajang di rak pendek sudut ruangan.

Mahesa sedang mengangkat piala dengan Pramudia yang menggendongnya di atas punggung. Foto saat ia memenangkan olimpiade matematika tingkat provinsi beberapa bulan lalu. Mendung itu kini nyata menjadi rinai. Mahesa kembali tergugu menerima kenyataan.

Hatinya teremas saat satu kali lagi dalam hidupnya ia harus merasakan getir dari ditinggalkan. Pramudia, kakaknya, yang rela menahan segala letih hanya demi menghidupinya. Pramudia  kakaknya, yang rela mengubur seluruh mimpi hanya untuk membangun mimpinya, mengokohkan masa depan yang bahkan Esa sendiri tidak pernah bayangkan saat ia masih di panti.

Hari ini, saat dunia sudah berjalan dengan sangat baik baginya, ternyata Tuhan masih mau Esa berusaha lagi. Menjalani ketetapan yang sangat tidak ia sukai. Dalam tangisnya Mahesa berharap Pramudia tiba-tiba pulang dan berkata ini semua hanya mimpi buruknya.

Temenin aku tidur, Mas...

☘☘☘

INTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang