22. |Awal Mula|

1K 113 43
                                    

All We Need Just Heal》

Awal Mula

■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■

Mahesa terbangun pukul sepuluh pagi dengan rasa mual dan nyeri yang menjalar dari pinggang bahkan ke perutnya. Setelah malamnya berkutat dengan rasa sakit di kepala hingga untuk tertidur nyenyak pun ia tak bisa. Baru saat azan subuh berkumandang, Mahesa dapat memejamkam mata dan tertidur pulas.

Ia mencoba duduk di tepi ranjang dengan kaki yang menyentuh lantai. Diam sebentar ketika rasa sakit kembali menjalar dari kepala belakang sampai ke pelipisnya. Kepalanya berdetam. Ringisan kecil keluar dari kedua belah bibir tipisnya.

Tangannya meraba kasur mencari keberadaan ponselnya yang berbunyi. Ada panggilan masuk. Tidak tampak namanya karena layar ponsel Esa retak saat semalam tidak sengaja jatuh terbanting ketika tiba-tiba sakit kepala hebat menyerangnya.

"Assalamu'alaikum."

Mahesa tersenyum saat suara seseorang yang ia kenal dan tentu ia rindukan terdengar.

"Maaf-maaf," Esa tertawa ketika Zaki melontarkan protesnya. "Aku dua hari ini sibuk, Bang. Banyak banget kegiatan di sekolah, jadi nggak sempat pegang hp."

"Abang sehat?"

Mahesa tertawa mendengar semua hal yang Zaki ceritakan di sambungan teleponnya. Lelaki itu berbagi soal bagaimana ia mendapatkan penghargaan sebagai satpam teladan karena selalu datang tepat waktu. Ia bercerita tentang anak-anaknya yang kini bersekolah di sekolah negeri unggulan Jogja.

Mahesa bahagia. Mendengar bagimana Zaki menjalani hidupnya dengan baik. Mendengar bagaimana suami Bude Rini kini sudah mulai bisa berjalan. Semua kabar baik tentang rusun, semua kabar baik tentang Jogja dan Pramudia selalu berhasil membuat Mahesa kembali mendapatkan hidupnya.

Mahesa asik bertukar cerita, cerita baik karangannya tentang hidup di Jakarta, sampai tiba-tiba ia menutup mulutnya. Rematan di perut membuat rasa mual menyeruak hingga ke dada.

"Bang, aku matiin dulu, ada guru, assala-" ia langsung mematikan begitu cairan yang mendesak keluar sudah tak mampu ditahan. Mahesa berlari ke toilet dengan langkah gontai.

Air yang baru saja ia konsumsi, menyembur keluar. Muntahan kosong terdengar setelahnya. Tangannya yang gemetar ia gunakan untuk membuka kran air. Mengusap wajah dan sekitaran mulutnya. Tarikan napas dan embusan kasar ia lakukan berulang. Kepalanya kembali berdenyut, perutnya melilit, pijakannya mulai mengambang.

Dirasa sedikit mereda, pandangan kabur mulai berangsur jelas, Mahesa membawa tubuh lemasnya keluar dari kamar mandi menuju lemari kecil di bawah televisi. Ia meyimpan mie instan yang dibeli menggunakan uang hasil bertandingnya. Tinggal satu. Namun cukup untuk mengisi perut kosongnya.

Mahesa keluar kamar dengan berpegangan pada dinding. Mulai menuruni tangga walaupun harus berkali-kali berhenti saking lemasnya. Ia hidup sendiri. Tidak ada tempat bersandar lagi. Jadi, apa pun yang terjadi, Mahesa harus lewati walau dengan tertatih-tatih.

Ia langsung menuju dapur, mengisi air di pancil kecil, membuka bungkus mie instan dan memasukannya ke dalam panci. Usai memastikan kompor menyala dengan benar, Mahesa menutup pancinya. Ia mengambil gelas plastik kecil, miliknya yang ia bawa dari Jogja. Ia isi dengan mineral dari dispenser. Menunggu mie matang, ia mendudukan dirinya di kursi meja makan.

"Loh, nggak sekolah tah?"

Usai meneguk airnya hingga tandas, Esa menoleh ke arah pintu jala besi di belakangnya. Ada Bi Marta yang baru pulang dari pasar membawa dua keranjang berisi sayur dan lauk pauk yang akan diolah.

INTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang