《All We Need Just Heal》
● Penampung Lara ●
■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■
Mahesa terbangun pukul lima pagi, tanpa Mahaka di sisinya. Kakaknya mungkin sudah keluar pagi-pagi sekali. Ia menutup mulutnya lalu berlari kecil ke kamar mandi saat isi perutnya mendesak naik, sudah sampai kerongkongan.
Terdengar gemericik, muntahan menyembur ke luar. Seluruh tubuhnya mengejan. Sementara matanya terpejam dalam. Kedua tangannya erat meremat pinggiran wastafel.
"Hah..hah.." Esa terengah, tubuhnya mendadak lelah. Keringat membuat kulitnya tampak mengkilat saat diterpa cahaya lampu dari toiletnya.
Lehernya menjulur ke depan. Kini bagian bawah lidahnya terus mengeluarkan liur. Ia telan, air liur semakin banyak ke luar. Sedikit tersengal, diikuti sendawa-sendawa kecil, lagi, bukan sisa makanan kemarin malam yang ke luar, hanya lendir. Lendir yang sangat asam. Mahesa mengernyit saat lendir asam mengaliri tengah lidahnya. Ia tengah mencoba menarik napas, ketika cairan itu justru masuk jalur pernapasannya.
Refleks batuk, lendir itu membuatnya tersedak. Kini cairan itu juga ke luar dari hidungnya. Sensasi panas membakar perut hingga wajahnya.
Wajahnya memerah padam, tanpa sadar tangan kanannya terus menekan rongga tengah bawah dadanya.
Esa mengerang sangat mual enggan berkurang. Sementara isi perutnya telah habis terbuang.
Mahesa menunduk dengan mulut terbuka. Air liur encer bening terus ke luar. Tubuhnya sesekali menyentak. Menuruti mual yang mencoba menguras habis isi perutnya.
Urat-urat menonjol tercetak jelas di lehernya, yang juga nampak memerah.
Sekuat apa pun ia mengejan, tidak ada yang ke luar. Hanya udara setengah asam.
Mahesa terus berusaha menormalkan ritme napasnya yang memendek. Sesekali meludahkan sisa muntahan di mulut, sesekali menelan air liur yang tak berhenti mengucur.
Dengan tangan bergetar dan pandangan yang mulai nampak kehitaman, ia memutar keran. Beberapa kali berkumur, beberapa kali membasuh wajahnya yang berpeluh. Mahesa menegakkan tubuh. Tidak penuh. Seperti ada tali kencang, menyencang ulu hatinya saat ia mencoba berdiri.
Ia mengeratkan cengkraman pada pinggiran wastafel, ketika tubuhnya tiba-tiba terhuyung. Kepalanya terasa sangat ringan. Tubuhnya seperti melayang-layang. Seperti mau pingsan.
Dengan posisi setengah membungkuk, Mahesa menyilangkan kedua tangan, ia gunakan sebagai bantalan kepalanya yang mulai terasa kesemutan.
Sesekali tubuhnya masih menyentak tiba-tiba. Hendak muntah, tapi ditahannya.
Keran masih menyala. Sedari tadi air masih mengalir dari sana.
Hingga saat rasa mual tidak sehebat sebelumnya, Mahesa membasuh mulutnya sekali lagi. Membasuh mukanya sekali lagi. Ia letakkan kepalanya di bawah guyuran air keran. Lama. Ia biarkan air segar meluruhkan pening di kepalanya.
Masih dalam posisi menunduk, tangannya bergerak, berusaha mematikan keran. Hingga saat air benar-benar berhenti, Mahesa mengangkat kembali kepalanya. Dapat ia rasakan kala air menitik dari anak-anak rambutnya. Turun hingga ke wajah, leher dan dadanya. Tubuh itu sudah sedikit tenang. Tidak lagi gemetaran. Tidak lagi tersengal.
Tangan kanannya tengah mengusap kasar tetes-tetes air dari ujung dagu. Lantas menanggalkan seluruh pakaiannya. Ia nyalakan shower dengan air hangat. Mulai mengguyur tubuhnya yang terasa tidak enak.
![](https://img.wattpad.com/cover/330738783-288-k245775.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
IN
Fiksi RemajaMenepilah. Jika segala tentang hilang terbilang bahagia. Jika segala gundah terbayar suka. Jika hadir bukan lagi pelipur lara.