《All We Need Just Heal》
● Dekat Melukat ●
■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■
Mahesa menyusuri satu per satu anak tangga menuju lantai dua. Tangga yang terbuat dari marmer berwarna putih gading kecokelatan dengan pegangan berwarna hitam mengkilat berkilauan memberikan kesan megah dari rumah yang sudah terlihat mewah. Dari ekor matanya, lampu kristal terlihat menyala terang. Berkerling menyinari tiap sudut ruangan.
Mahesa berbelok menuju ruangan di sudut kanan lantai dua. Untuk beberapa saat yang cukup lama, Esa berdiri diam setelah pintu kamar sudah ia buka. Pandangannya mengedar ke seluruh penjuru. Ruangan luas bercat putih gading. Dingin menusuk kulit bersamaan dengan cahaya lampu yang baru ia nyalakan.
Mahesa melangkah masuk menuju kasur lebar yang empuk. Ia duduk di sana sembari membuka tas ranselnya. Pigura foto, handuk, kaus ganti lengkap dengan celana dan pakaian dalam yang akan ia gunakan serta sepatu merah yang ia bawa. Esa menata foto-foto yang ia punya di atas meja. Foto yang memamerkan kebahagiaan dirinya bersama Pramudia dan warga rusun. Ia juga meletakan sepatu merah kebanggaannya di rak sepatu samping meja.
Sekali lagi Esa duduk terdiam di atas kasurnya. Kamar dan rumah megah dengan bayang-bayang keluarga yang bahagia. Ia mendecih, kemudian tertawa pelan. Alih-alih penyambutan hangat, justru penolakan yang ia dapat di saat pertama ia tiba di rumah itu. Satu yang selalu Mahesa tanamkan dalam benaknya bahwa ia hanyalah anak sebatang kara yang dibawa oleh Mahaka atas dasar iba. Ia harus membatasi dirinya agar tidak terbawa secara emosional untuk berharap dan bergantung pada manusia mana pun. Karena nyatanya, bahagia itu hanya milik Mahaka, bukan orang asing yang seolah akan dianggap keluarga.
Esa akhirnya memutuskan bangkit dengan membawa handuk dan pakaian salinnya. Perjalanan Jogja-Jakarta cukup menguras tenaga. Mungkin guyuran air akan membawa serta seluruh kesedihannya hari ini.
Lima belas menit berlalu. Mahesa keluar dengan rambut basah dan wajah yang sudah tampak lebih segar. Ia lantas menggantung handuknya dan berbaring di ranjang. Ia menyalakan ponsel yang sedari berangkat masih dimatikan. Puluhan pesan masuk dari orang orang yang berbeda.
Bang Faris
Udah sampai mana toh, Sa?
Kabarin Abang kalau sudah sampai di Jakarta.
Belum satu hari Esa pindah, kok rusun rasanya jadi sepi ya?Esa mengulas senyum membaca rentetan pesan yang masuk. Ada Faris yang tiap jam bertanya keberadaannya. Ada Zaki yang sibuk mengirimkan foto-fotonya sedang bekerja menggunakan seragam baru si grup rusun mereka. Ada Bude Rini yang melaporkan bahwa ia memasak makanan kesukaan Esa. Tak lupa juga ada Bian, yang sejak pertemuannya beberapa waktu lalu tidak henti mengirimkannya pesan.
Esa membalas semua pesan yang masuk. Memberikan kabar bahwa ia telah sampai di Jakarta. Memberikan pujian pada Zaki yang terlihat tampan, juga menjawab pesan-pesan tidak penting yang Bian kirimkan. Ia kemudian menutup ponselnya, meletakkannya asal.
Ia berbaring dengan tangan yang menjadi bantalan. Mahesa menghela napas untuk kesekian kalinya. Rasanya seperti bersiap untuk membuka lembaran baru. Tapi belum apa-apa dia sudah diserang rindu.
Rumahnya di Jogja, mungkin hanya sebesar ruang keamanan yang tadi ia lihat di dekat gerbang masuk rumah ini. Di sini, ruang keamanan saja bahkan tidak memiliki dinding terkelupas karena lembab, juga lampu berkedip karena kabel usang. Namun, nyatanya kemewahan itu tak berarti apa-apa untuknya. Tinggal di rumah sepetak kecil terasa lebih bahagia asal bersama Pramudia.
Ketukan pintu kamar menarik perhatian Esa sepenuhnya. Anak itu memilih mendudukan diri di ranjang saat Mahaka masuk dengan nampan penuh makanan. Lelaki itu berjalan ke arahnya, meletakkan nampan makanan itu di atas kasur dan duduk berhadapan dengan Mahesa.

KAMU SEDANG MEMBACA
IN
Novela JuvenilMenepilah. Jika segala tentang hilang terbilang bahagia. Jika segala gundah terbayar suka. Jika hadir bukan lagi pelipur lara.