10. | Lebam Berulang |

536 73 20
                                    

All We Need Just Heal》

Lebam Berulang

■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■

"Saya kerja tanpa digaji nggak apa-apa, Koh. Saya janji bakal kerja selama yang Kokoh mau."

Mahesa memohon tanpa henti. Ia terus mengekori ke mana pun Aryo pergi. Berharap hati bosnya dapat luluh dan mau memberinya pinjaman sebanyak yang ia minta. Hari ini, Esa rela tidak pergi ke sekolah. Ia bekerja sejak matahari belum muncul sampai siang hari terik seperti ini. Semua demi menunjukkan keseriusannya agar Aryo mau memberinya pinjaman.

"Lu kerja sampai tulang lu pada lepas juga nggak akan kebayar hutang segitu!"

Mahesa tidak menyerah. Bentakan dan cacian yang sejak tadi Aryo berikan hanya lewat selintas di telinga. Ia menebalkan muka. Menutup telinga. Hari ini, ia harus pulang dengan membawa uang yang Zaki butuhkan.

Aryo duduk bersedekap dada di kursinya. Melihat wajah lusuh Esa dari atas sampai kakinya. Sementara Mahesa kini masih berdiri di hadapan Aryo dan tak mau pergi.

"Tolong, Koh. Cuma Kokoh yang bisa bantu saya. Saya mohon, Koh," Mahesa bersimpuh di kaki Aryo. Merendahkan harga dirinya. Memasang wajah lelahnya. Suaranya lirih syarat akan putus asa.

Namun, hati Aryo tidak sedikit pun tergerak. Ia menjauhkan kakinya dengan kasar. "Apa jaminan yang bisa lu kasih?"

"Diri saya, Koh. Saya janji saya bakal kerja mati-matian sampai hutang saya lunas."

Aryo terbahak. "Hutang lo yang kemarin aja belum lunas, Mahesa! Bangun! Balik kerja! Barang lagi banyak datang."

Aryo bangkit dan berlalu begitu saja meninggalkan Esa yang masih terus memanggil namanya. Mahesa menghela napas. Ia berdiri dan berjalan lesu ke ruangan Mbak Indri. Kemudian duduk di sudut ruangan dengan menyandarkan punggungnya.

Kepalanya sakit. Semua bebannya akhir-akhir ini membuat Esa tidak bisa istirahat. Semua terlalu memenuhi pikirannya. Bagaimana cara mendapatkan banyak uang. Bagaimana cara terbebas dari lilitan hutang. Sungguh, rasanya jika bisa, Esa lebih memilih untuk ikut bersama Pramudia. Dunia terlalu keras untuk remaja seusianya.

"Sa...."

Mahesa membuka mata. Tersenyum pada wanita yang menyapanya. Ia ingin berdiri menghampiri, namun tubuhnya lelah sekali. Beberapa hari ini, ia sering merasakan sakit di perutnya. Mual dan tidak nafsu makan. Jadi, tubuhnya seperti kurang bertenaga. Ditambah lagi dengan tidurnya yang tidak bisa pulas.

"Mbak, numpang sebentar ya, capek," ujarnya.

"Udah makan belum kamu?"

Mahesa menggeleng. Sampai siang ini, hanya air putih yang berhasil melewati kerongkongan Esa.

"Makan dulu, tadi mbak beli ini. Makin kurus loh kamu, mukanya juga lesu kayak gitu," wanita cantik itu duduk di samping Esa sembari menyodorkan kue jajanan pasar yang baru saja ia beli.

Namun, entah mengapa Esa tidak berselera. "Masih kenyang, Mbak."

"Sedikit aja, asal ada yang masuk. Sakit nanti kamu, Sa, kalau begini terus."

INTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang