18. |Tidak Banyak Pilihan|

732 87 29
                                    

All We Need Just Heal》

Tidak Banyak Pilihan

■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■

Malam hari pukul sembilan, Mahesa sampai di kebun belakang sekolah Altarada dengan Bian yang masih mengekorinya. Sejak di sekolah sampai tidak pulang ke rumah, anak itu masih setia mengikuti bahkan mengantar Esa. Tentu setelah bujukannya yang tidak mampu menghentikan keinginan Mahesa.

"Kok gelap sih, Sa," Bian berceloteh sembari berjalan cepat menyeimbangi langkah Mahesa. "Sa... pulang aja ayok... gue takut...."

Mahesa menulikan telinga. Ia sudah memperingati anak penakut satu ini agar tidak ikut. Esa sudah bilang bahwa ia tidak mau Bian terlibat dan tahu tentang dunianya yang jelas berbeda.

"Sa," rengekan Bian masih terdengar bahkan sampai mereka tiba di tempat sesuai kesepakatan. "Gue nggak suka ya lo nggak dengerin gue kayak gini!!!" amuknya saat Esa tak kunjung menoleh ke arahnya.

Mahesa pun berhenti. Berbalik badan menatap Bian yang tampak mulai marah dengan mata memerah. "Gue udah bilang, nggak usah ikut."

"Kalau gue nggak ikut, lo bakalan nekat, Sa!"

"Lo ikut pun, gue bakal tetep lanjut, Bi," sahut Esa dengan anda tenang dan dalam. Ia lelah barus memberikan penjelasan pada Bian.

Anak itu tidak mau mengerti apa yang harus Esa hadapi. Tawaran akan solusi pun terasa seperti menggampangi. Mahesa tahu, Bian sudah lebih berada dan bergelimangan harta. Namun, hal itu bukan berarti Esa bisa bertumpang tangan dan memanfaatkan kebaikan Bian. Berkali-kali ia tegaskan, ia tidak akan mau bergantung pada manusia mana pun.

"Tai!" umpat Bian saat Esa berjalan meninggalkannya menuju empat orang yang telah menunggu mereka.

"Bang,"Mahesa menyalami Yusril saat tiba di lokasi.

Yusril membalas dan menanyakan tentang keberadaan Bian dengan tatapan serta dagu yang mengarah ke anak itu.

"Temen."

Yusril mengangguk mendengar jawaban Esa. "Masih anak sekolah, seumuran lo," bisik Yusril tepat di telinga kiri Esa.

Refleks Esa untuk langsung menoleh pada lawannya yang sedang duduk tak jauh dari mereka. Masih menggunakan seragam sekolah, sama seperti dirinya. Badan yang tidak terlalu besar, seukuran dengannya. Tatapan mata yang meremehkan seolah anak itu dapat mengalahkan Mahesa dengan mudah.

Emosi Esa tidak pernah mudah terpancing. Air mukanya selalu tenang. Dalam dan tak terbaca oleh lawan. Mahesa memang pribadi yang pandai mengatur pembawaannya. Tidak pernah terlihat sedih walau hatinya hancur lebur. Tidak juga terlihat tertawa keras walau perasaannya sedang diliputi bahagia.

"Kenapa di sini?" tanya Esa sembari melepas satu per satu kancing seragamnya. "Boleh memang main di luar?"

Yusril menggedikan bahunya. Tak menahu soal peraturan yang tiba-tiba berubah. "Anak orang kaya, bisa bayar lebih ke si bos," ujarnya sembari menerima tas sekolah yang Esa berikan dan meletakkannya di bale-bale bambu di belakangnya.

Mahesa menarik napasnya dalam. Mengatur kegugupannya. Perasaannya tidak enak. Tapi apa daya, Mahesa selalu merasa tak punya pilihan. Maka ketika wasit memanggil untuk mendekat, Esa melangkahkan kakinya dengan yakin. Apa pun yang terjadi, ini adalah usahanya untuk mencukupi diri sendiri.

"Duduk sini. Capek kali berdiri terus," ujar Yusril pada Bian yang sejak datang hingga sekarang masih saja berdiri dan melihat ke arah Esa.

"Lo yang udah ngenalin Esa ke kerjaan nggak bener kayak gini?"

INTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang