8. |Tidak Ada Ruang|

600 74 5
                                    

All We Need Just Heal》

Meredam Lebam

■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■

“Matur sembah suwun Bapak, kangge donganipun, mugi-mugi dipunsukani kasehatan salajengipun, lan lancar sedantenipun.”

Faris mematikan sambungan telfonnya dengan pemilik restoran tempat Mahesa bekerja. Kemudian beralih pada Esa yang masih duduk di ranjang. Enggan disuruh untuk tiduran. Sejak sadar sepuluh menit lalu, anak itu terus meminta untuk pulang. Ia bahkan mengancam akan mencabut paksa jarum infus yang menancap di punggung tangannya jika tidak ada perawat yang mau membantunya. Faris dan Zaki telah kehabisan daya membujuk keras kepala Mahesa. Oleh karena itu, Zaki pamit keluar untuk mencari keberadaan lelaki yang tadi mengantar mereka ke sini.

“Jangan merengut gitu, Sa,” canda Faris. Ia mengambil botol air mineral dan memberikannya pada Esa. “Minum dulu.”

Anak itu memalingkan wajah dengan telapak tangan mendorong pelan botol minum yang Faris berikan. Faris mengernyit heran. Esa masih saja bungkam sejak matanya terjaga. Anak itu tidak mau bercerita, hanya terus meminta pulang dan pulang saja. “Mau teh aja?”

Lagi-lagi Mahesa menolak. “Aku nggak haus, Mas. Nanti minum di rumah aja.”

“loh, ya mana bisa. Wong kata dokter harus dirawat dulu beberapa hari sampai lambungnya aman,” Faris meletakkan kembali gelas yang ia bawa di atas meja. Lalu mendudukan dirinya di kursi samping ranjang Esa. Melihat cairan infus yang menetes pelan dan mengalir masuk ke tubuh Esa. Ini pertama kali Mahesa masuk rumah sakit. “Kenapa sim mau pulang terus? Kamarnya aja nyaman loh, ada TV, kasurnya bagus, empuk, luas, kamar mandinya aja luas banget, Sa. Beda sama punya kita di rusun,” gurau Faris mencairkan suasana.

Matanya menelisik seluruh ruangan. Seumur hidupnya, baru kali ini ia melihat ruang rawat di rumah sakit dengan fasilitas lengkap. Ada TV, dispenser, sofabed, ukuran yang sangat luas, perawat yang ramah. Sangat berbeda dengan tempat biasa mereka dirawat. Tempat yang lumayan pengap karena beramai-ramai, perawat yang melayani dengan mimik wajah yang terkesan cuek dan tidak bersahabat. Faris sibuk menerka, siapa lelaki yang bersama mereka. Lelaki yang telah menolong Esa setelah terlibat percekcokan sebelumnya. Faris ingin bertanya, namun ia tahu, Mahesa pasti tidak akan menjawabnya.

“Sa,” tegurnya. “Mas tadi itu siapa?”

“Aku nggak tau.”

“Masa nggak tau? kayaknya pas turun dari mobil dia, Esa sempat ngobrol deh,” cecarnya tak puas.
Namun, belum mendapat jawaban lagi dari Esa, pintu ruangan terbuka. Faris bangkit dan melihat siapa yang masuk ke dalam ruangan. Ternyata Zaki dan Lelaki yang tadi bersama mereka. Lelaki itu masuk dengan dua plastik besar berisi makanan dan minuman. Ia berjalan menghampiri ranjang Esa dan tersenyum ramah pada Faris.

“Kok repot-repot segala, Mas. Matur sembah suwun nggih,” ujar Faris setelah menerima plastik yang diberikan Mahaka.

“Buat isi perut dulu, Mas. Biar yang jaga nggak gentian sakit.”

Faris mengulas senyum. Ia menoleh saat Zaki mencolek lengannya. Zaki mengarahkan telunjuknya ke pintu keluar tanpa bicara. Faris paham maksud ajakan Zaki walau tidak mengerti alasannya.

Yowes, tak tinggal ke depan yo, mas,” Faris pamit pada Mahaka. Namun lengannya di tahan dengan cepat.

“Abang mau ke mana?”

Mahesa bertanya dengan mata sayunya. Rematan pada lengan Faris sangat kencang. Anak itu seolah melarang Faris untuk beranjak ke mana pun. Namun, sejak awal Faris melihat ada yang tidak beres dari interaksi antara Mahesa dengan lelaki itu. Maka, ia tetap dengan keputusannya. Melepas cengkraman Esa. “Keluar sebentar sama Bang Eki, mau antar Bang Eki beli rokok.”

INTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang