《All We Need Just Heal》
● Untuk Tetap Tinggal ●
■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■
"Kalau saya jadi Esa, mungkin saya juga akan melakukan hal yang sama. Karena kecewanya dalam sekali, Mas."
Angin Yogyakarta sore ini membawa rindu yang menenggelamkan. Sapuannya membawa serta daun kering yang telah berguguran. Gemericik air dari aliran sungai terdengar renyah di telinga. Membawa kecanggungan pada dua lelaki dewasa yang sedang duduk berhadapan di sisi pusara.
Hari ini kali pertama Mahaka menginjakan kaki di tanah tempat Pramudia dimakamkan. Kilasan masa kecilnya yang ia habiskan dengan sahabat karib sewaktu di panti membawa buncahan rindu di dada yang tidak akan pernah padam. Mahaka mengusap nisan hitam bertuliskan nama sahabatnya. Bersih, rapi dan tampak terurus dengan baik. Ini adalah bukti rasa sayang Mahesa pada Pramudia.
Untaian rasa terima kasih dan jutaan rasa sesal tak berhenti Mahaka gumamkan dalam batinnya. Atas segala pengorbanan, atas segala kesusahpayahan, atas segala penguburan mimpi dan angan yang telah Pramudia lakukan untuk menjaga adik semawata wayangnya cukup membuat Mahaka malu. Tugasnya diambil alih dengan sangat baik oleh Pram yang sejak awal menentang keras keinginan Mahaka untuk ikut ke Jakarta.
Ia juga menyesali keburu-buruannya dalam mencari. Ia tidak pernah tahu bahwa panggilannya malam itu, ternyata mengantarkan Pramudia pada maut. Ia tidak pernah terpikir bahwa apa yang dia lakukan menyebabkan Mahesa harus hidup menderita selama dua bulan belakangan ini.
Mahaka bisa di sini atas kebaikan hati Faris yang mau mengantarnya. Lelaki itu bahkan bersedia menjelaskan segala sesuatu yang Mahaka tanya. Tentang bagaimana kehidupan Pramudia dengan Esa. Tentang siapa yang mengurus Esa setelah kepergian Pramudia dan banyak hal lainnya. Faris pun menjawabnya dengan bangga. Ia menceritakan perihal segudang prestasi yang Mahesa miliki. Ia menceritakan bagaimana anak itu tumbuh menjadi anak yang sopan, baik, penuh tanggung jawab dan dewasa.
Senyum di wajah Mahaka tidak luntur selama mendengar semua tentang adiknya. Ia membayangkan jika mereka dapat hidup bersama sejak dulu, pasti bahagia itu menjadi miliknya. Namun, harapan hanya tinggal angan semu belaka. Kini, Mahesa bukan lagi adik kecilnya dulu. Anak itu sudah menganggap asing keberadaan Mahaka. Ia bahkan dengan lantang mengutarakan benci setiap kali bertemu dengan Mahaka. Padahal ia menjadi satu-satunya tujuan Mahaka datang ke Jogja.
"Tapi, Mas tenang aja. Esa itu anaknya baik, lama-lama dia pasti akan luluh dan bisa maafin, Mas."
Mahaka tersenyum getir. "Balas pesan saya aja nggak mau, Mas. Jangankan itu, tadi Mas lihat sendiri kan? Esa sepertinya udah nggak mau kenal saya."
"Saya paham rasa kecewanya, Mas. Tapi saya mau memperbaiki, kami itu saudara," helaan napas Mahaka terdengar lelah. Tiga hari ini ia tetap tidak berhasil berbicara lagi dengan Esa. Entah usaha seperti apa yang harus ia lakukan. Kesungguhan seperti apa yang harus ia tunjukkan.
Faris menepuk pundak Mahaka. "Darah tetap lebih kental dari air, Mas. Saya yakin, Esa akan memaafkan dan bisa berdamai dengan kesalahan Mas di masa lalu. Setiap orang berhak menyesal dan berubah menjadi lebih baik."
☘☘☘
Mahaka dan Faris berlari cepat setelah mendengar keributan di depan kamar Zaki. Ada dua orang laki-laki bertubuh besar berpakaian merah dan hitam lengkap dengan kalung rantai yang ada di lehernya.
"Woy!"
Mahaka mempercepat larinya saat kepalan tangan salah satu lelaki di sana menyasar rahang kiri milik Mahesa. Sementara tidak jauh dari adiknya, dua anak kecil sedang berpelukan sembari menangis ketakutan. Zaki terlihat sudah duduk bersandar dinding dengan wajah babak belur. Entah apa yang terjadi, Mahaka merasa ada yang tidak beres di hari ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
IN
Teen FictionMenepilah. Jika segala tentang hilang terbilang bahagia. Jika segala gundah terbayar suka. Jika hadir bukan lagi pelipur lara.