17. |Kehangatan Itu Sepeti Ini|

866 117 19
                                        

All We Need Just Heal》

Kehangatan Itu Seperti Ini

■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■

"Sa."

Mahesa mengerjap saat merasa bahunya diguncang. Suara Bian menyapa pendengarannya. Ia melihat sekitar, harum petricor menguar dari rintik menitik yang membasahi tanah merah serta dedaunan di taman. Tangan kirinya meraba ke sisi kiri jok mobil dan mengaturnya sampai duduk tegak. Ia melepas sabuk pengaman yang dikenakan. Lalu duduk terdiam sembari memijat dadanya.

"Kenapa?"

"Nggak apa-apa."

Mahesa mengatur napasnya. Bersandar ke jok dengan memejamkan mata. Sampai dirasa sesaknya mereda, ia membuka pintu mobil di sisi kirinya. Rumah mewah bergaya minimalis bercat putih hitam senada dengan keramik yang ia pijak. Suara gemericik air dari kolam ikan di taman terdengar bersahutan dengan rinai hujan.

Dadanya tiba-tiba berdegup kencang. Bayangan penolakan di hari pertama datang terputar di pikiran. Esa takut saat pintu megah itu terbuka, tatapan tajam dan mengintimidasi kembali ia dapatkan.

Bian yang sepertinya sadar akan langkah Esa yang mulai meragu, lantas mendekat dan merangkulnya. Bian masih dengan dugaan di kepala. Tentang keluarga baru Esa sebagai pelaku utama memar biru di dada sahabatnya.

"Assalamu'alaikum!"

Pintu kayu hitam dibuka oleh Bian. Ruang tamu yang terasa nyaman. Dingin tapi terlihat hangat karena foto keluarga yang tercetak besar dan terpampang di dindingnya.

"Mi!!! Umi!!"

"Jangan teriak-teriak, Bi. Sakit kuping gue," keluh Esa sembari menepuk pipi Bian saat anak itu berteriak memanggil Ibunya.

Bian menarik tangan Esa untuk mengikutinya ke arah ruang makan. Dari aromanya, ia bisa menebak jika Ibunya sedang memasak. Bian tadi sempat bilang untuk disiapkan makan malam dengan menu beragam. Harus ada sayur, ayam, udang, cumi, buah dan susu. Mahesa harus disambut dengan baik di rumahnya.

Bian tersenyum saat melihat sang Ibu sedang sibuk menempatkan sayur dari penggorengan ke dalam piring saji.

"Sabar dong, Nak. Jangan teriak-teriak begitu."

Murni, Umi bian berbalik badan dengan membawa capcay yang masih hangat. "Eh eh siapa ini?"

Wanita itu tersenyum ramah saat melihat Esa. Ia meletakkan lauk yang dibawanya ke atas meja makan. "Tunggu sebentar, umi cuci tangan dulu. Ajak duduk temannya, Bi."

Murni berlalu ke dapur, melepas celemek masak dan menggantungnya di capstock. Ia mencuci tangan dan mengelapkannya ke handuk kecil di sisi wastafel agar kering. Kemudian, ia menghampiri Bian dan Mahesa di meja makan.

Mahesa ikut tersenyum saat wanita paruh baya itu menghampirinya. "Tante," ia menyalimi tangan Murni yang langsung disambut.

"Halo, Sayang. Siapa namanya?"

"Mahesa, Mi. Ini adik aku di panti, yang kita cari-cari selama ini," ujar Bian riang.

Pun berbanding lurus dengan reaksi yang Murni tunjukkan.

"Ya Allah!!" Murni langsung memeluk Esa erat. Mengusap punggung dan kepala anak itu. "Alhamdulillah akhirnya ketemu, Nak. Umi, Baba, Bian, setiap ke Jogja pasti cari Mahesa."

Senyum Esa mengembang, juga semu di dadanya. Hangat ternyata diterima dengan tangan terbuka. Setelah sekian lama, akhirnya ada wanita yang mau memeluknya dan menganggapnya ada. Pelukan pertama di Jakarta. Pelukan terhangat yang akhirnya Esa rasakan.

INTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang