7. |Meredam Lebam|

925 96 9
                                    

All We Need Just Heal》

Meredam Lebam

■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■

Tepat saat jalan basah, ranting pepohonan bergerak liar menolak dikepung hujan. Mahesa sampai di ujung jalan menuju rusun. Dengan bajunya yang sudah basah oleh keringat. Dengan sepatu bolongnya yang belum sempat ia perbaiki. Ia berlari kecil menghindari rintik menitik. Jalanan tampak lengang luput dari perhatian. Langkahnya memelan saat melihat tiga sepeda motor dengan lampu sorot yang menyala terang menuju ke arahnya. Mahesa menghela napasnya. Di harinya yang melelahkan, ternyata Tuhan belum mengizinkannya beristirahat. Ada saja gangguan yang lebih dulu harus ia selesaikan. Mahesa merasa tidak ada pilihan. Memelan atau melaju cepat pun ia tetap harus menghadapi mereka.

Enam orang pemuda yang satu tahun lebih tua darinya. Dikeluarkan dari sekolah empat bulan lalu karena sudah melakukan penganiayaan terhadap salah satu teman Esa. Mahesa, si pemberani yang kerap bertindak tanpa memikirkan konsekuensi yang akan di dapat melihat kejadian itu langsung di depan mata. Bagaimana keenam orang itu melakukan perundungan pada Andra, rekan sekelasnya yang kini memutuskan untuk tidak lagi bersekolah akibat trauma yang diderita.

Bukan hanya melihat, Mahesa juga merekam dan melaporkannya pada pihak sekolah. Keenam pemuda tersebut dipanggil. Diperlihatkan bukti rekaman yang diberikan Mahesa. Pemanggilan orang tua pun telah dilakukan. Setelah diskusi panjang, sekolah menjatuhkan hukuman. Keenamnya dikeluarkan dengan alasan harus mendapat binaan dari tempat yang lebih memadai.

Mahesa tidak gentar. Walau berbagai ancaman datang, ia tidak pernah takut selama posisinya benar. Ia juga tidak merasa bersalah karena membuat pelaku perundungan mendapat ganjaran yang setimpal. Maka, saat keenam pemuda itu berhenti di depannya, yang Mahesa lakukan adalah tetap diam dengan wajah tenang.

"Si pahlawan kesiangan."

Mahesa mengangkat wajahnya. Langsung menyorot tubuh tegap, besar, berambut ikal yang berdiri di depannya. Di belakang, masih ada komplotannya yang juga seperti mengepung Esa.

Badu Wiratama.

Pemimpin geng kelas 12 yang baru saja dikeluarkan. Anak dari seorang jendral bintang satu di Yogyakarta. Anak yang biasa menggunakan uang sebagai pemegang kekuasaan dan luput dari perhatian keluarga. Akhirnya, anak itu terdidik dengan sama sekali tidak memiliki tata kerama. Baik pada guru maupun teman sebayanya.

"Kenapa?" Badu meludah, seperti seekor hyena tua yang kencing menandai wilayahnya. "Emang sok pahlawan kan? Sok jagoan."

Terdengar langkah satu-satu dari Badu dan komplotannya yang mendekat. Mahesa hanya diam, memasukkan sakunya ke dalam kantung. Tidak banyak bereaksi. Air wajahnya pun masih terbalut tenang yang mendamaikan.

Badu melayangkan pukulan keras menyasar pipi kiri Esa. "Bangun!!" Badu kembali mencengkram kaus bagian leher Esa dan memaksanya untuk bangun.

"Ngapain lo ikut campur?!"

"Gue cuma ada urusan sama si lembek tikus got itu!"

"Kelas comberan ya beraninya cuma lawan tikus got," sarkas lirih yang keluar dari bibir Esa mengundang gatal pada dada si pemuda berbadan besar yang merasa dilecehkan. Hingga tangan kirinya bergerak cepat semakin kuat mencengkram kaus Mahesa.

Mahesa pasrah saja. Masih dengan wajah meremehkan. Tenang ia tatap geram pada mata legam di depannya. Ia sama sekali tidak berkedip bahkan saat tangan Badu kembali mengepal di udara.

INTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang