14. |Tuhan Tidak Beri Jalan|

976 108 29
                                        

All We Need Just Heal》

Tuhan Tidak Beri Jalan

■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■

Tepat saat jalan basah, ranting pepohonan bergerak liar menolak dikepung hujan. Mahesa sampai di depan pintu gerbang. Menunggu Pak Uma membuka gembok untuknya. Setelah menyalimi tangan kanan Pak Uma, Esa berlari kecil menghindari rintik menitik. Masuk ke dalam rumah melalui pintu samping. Pintu jala paling dekat dengan tangga menuju lantai dua.

Jam dinding serupa lonceng berbunyi dua kali. Menunjukkan jam sudah pukul sebelas malam. Rumah lengang luput dari perhatian. Pikirnya, ia hanya harus masuk ke kamar dan beristirahat. Besok pagi ia akan menjelaskan pada Mahaka, itu pun jika ditanya. Maka langkahnya ia bawa menaiki tangga, sedikit berlari melewati sekaligus dua-dua anak tangga.

Berdiri Esa di depan pintu kamarnya. Tangannya sudah menggantung di handle saat bersamaan pintu kamar dari arah kiri terbuka. Nuri keluar, berjalan mendekat dengan wajah padam. Esa dengan seribu kata yang terangkai di kepala mendadak bungkam.

"Tante," dari ribuan, hanya satu kata yang lolos menyapa.

"Jam sebelas malam," Nuri berjalan semakin mendekat ke arah Mahesa. Dari tempatnya berdiri, ia bisa menekuri penampilan Esa. Sisa debu yang menempel di pipinya, seragam yang sudah kusut dan keluar tidak beraturan. Nuri menelisik raut wajah remaja di hadapannya.

Nuri adalah sosok ibu yang bijaksana, lembut dan penyayang. Ia tidak pernah berkata-kata jahat pada siapa pun. Ia bahkan dikenal sebagai wanita dengan hati lapang saat dengan tangan terbuka bersedia merawat dan memyayangi Mahaka. Namun, sebagai seorang ibu, Nuri tetaplah ibu biasa. Ia benci melihat anaknya terluka. Maka saat kehadiran Mahesa menjadi penghancur kebahagiaan putranya, ia pun merasakan yang sama.

"Di rumah ini ada aturannya. Saya selalu mengajarkan Mahaka dan Andaru untuk berada di rumah sebelum pukul 9 malam."

"Putra-putra saya anak yang penurut. Mereka saya didik dengan pola hidup yang baik dan teratur."

"Saya tidak tahu bagaimana hidup kamu di sana. Apa kamu menjadi liar karena dibesarkan oleh seorang preman, apa kamu memang terbiasa hidup bebas tanpa pengawasan hingga sering pulang larut malam, saya tidak tahu dan memang tidak mau tahu."

Nuri tidak memberikan kesempatan Esa untuk berbicara. Ia membiarkan anak itu menunduk, mendengarkan segala ucapannya.

"Tapi satu yang perlu kamu ingat, jika ingin tinggal di sini, maka patuhi peraturan yang ada. Jangan berlaku sesukanya karena ini bukan rumah kamu."

"Hargai anak saya yang sudah susah payah membawa kamu ke Jakarta, anak saya sudah berusaha membuat kamu hidup enak dan berkecupan. Jadi, jangan buat Mahaka susah."

"Karena jika bukan karena Mahaka, saya tidak akan-"

"Bun..."

Ucapan Nuri terpotong oleh panggilan suara bariton milik lelaki dewasa yang baru sampai di ujung tangga.

Mahesa dan Nuri menoleh. Mahaka berjalan mendekati mereka dengan jaket dan celana pendek yang melekat di tubuhnya. Kunci mobil juga masih berada dalam genggaman tangannya. Mahesa baru menyadari, jika saat pulang tadi, ia tidak melihat mobil Mahaka terparkir di pelataran rumah ini.

"Tidur, Bun," Mahaka berangkul sang bunda dan mengajaknya berjalan menuju kamar tidur bundanya. "Udah malam loh...."

Nuri menghela napasnya. Bahunya yang tegang, turun melorot meregang. Ia melepas rangkulan si sulung dan menangkup dia bahu putranya.

INTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang