Hujan dan Namanya

1 0 0
                                    

Hujan deras mengguyur kota Jakarta sejak sore tadi. Biasanya, setiap malam minggu seperti ini banyak orang - orang yang pergi keluar entah bersama teman, pacar atau keluarga untuk menghabiskan waktu bersama. Namun, derasnya hujan malam ini membuat sebagian orang malas untuk sekedar keluar dari pintu rumah saja.

Seorang gadis kini sedang berkutat dengan laptop serta beberapa camilan di hadapannya. Derasnya suara air hujan sama sekali tidak mempengaruhi aktivitasnya, bahkan dia tidak merasa terganggu sedikit pun karena hanyut dalam film yang terputar di layar laptopnya. Sesekali terdengar suara teriakan karena terkejut dengan sosok yang muncul dengan tiba - tiba.

Braakkk

Suara bantingan pintu yang keras membuat Shila terlonjak kaget, namun sedetik kemudian dia mengumpat karena tanpa melihat pun, Shila tahu siapa pelakunya. Siapa lagi yang berani mengganggunya kalau bukan Davin, kakak terlaknatnya. Rasanya tidak mungkin jika Mama yang mendobrak pintu kamarnya sekeras itu padahal Shila tidak menguncinya.

"Kutil onta lo ngapain, sih? Ngagetin tau nggak!" pekik Shila dengan kesal.

"Halah, lebay." balas Davin dengan santainya, kemudian berbaring di samping adik perempuannya.

Shila berdecak kesal, "Ngapain, sih kesini? Kamar lo banjir sampe harus ngungsi kesini?" tanyanya mencoba fokus kembali dengan layar di hadapannya.

"Shil, gue mau nanya, deh." bukannya menjawab, Davin malah balik bertanya.

"Apaan?" Shila memperhatikan raut wajah Davin, apakah dirinya sedang di kerjai atau tidak.

"Lo, masih marah sama Papa?" tanya Davin membuat Shila mengalihkan atensinya kembali pada layar laptopnya.

Gadis itu menghela napas kasar, raut wajahnya mendadak berubah menjadi dingin dan datar. Tidak ingin menjawab atau bahkan menanggapi pertanyaan Davin yang hanya akan menyulut emosinya.

"Shil, gue serius." ujar Davin lagi.

"Kalo lo kesini cuma buat nanya hal nggak penting kayak gitu, mending lo keluar dari kamar gue." usir Shila tanpa menatap Davin yang masih setia menunggu jawabannya.

"Shil, mau sebenci apa lo sama Papa sekarang, dia tetep Papa kita. Nggak ada manusia yang bersih dari kesalahan." ucap Davin tanpa memperdulikan usiran Shila.

"Lo, atau gue yang keluar?" Shila masih enggan menanggapi topik yang Davin buka.

Lelaki itu menggeleng, "Dengerin gue dulu,"

Shila bangkit dari duduknya, berniat untuk keluar dari kamarnya sendiri karena Davin menolak untuk keluar.

"Mau sampai kapan lo lari?" Davin mencekal pergelangan tangan Shila yang hendak pergi.

Gadis itu terdiam, matanya menatap lurus ke depan, pun dengan tangannya yang tak menepis cekalan Davin yang masih belum terlepas.

"Sekarang gue tanya, apa peduli dia sama kita?" tanya Shila, kini bola matanya menatap dalam manik kembar Davin yang terlihat tajam.

Davin tak menjawab, menunggu Shila melanjutkan ucapannya, karena lelaki itu tahu Shila tidak mungkin hanya meresponnya dengan satu pertanyaan setelah Davin terus mendesaknya.

"Dulu dia kemana waktu Mama banting tulang buat ngehidupin kita? Mungkin dia emang ada di sini, di rumah ini. Tapi apa dia bertanggung jawab? Apa yang udah dia kasih buat Mama, buat kita?" tanya Shila dengan nada tenang, masih mencoba bersabar dengan topik sialan itu.

"Tapi Papa sekarang udah berubah, Shil. Papa udah peduli sama kita, bahkan rela kerja sampe malem buat kita semua." Davin masih mencoba membuat Shila mengerti.

Dear SMA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang