Triple Kill

1 0 0
                                    

Merah.

Shila merasakan matanya memanas, rasanya penantian dan perjuangannya hancur hanya dalam satu detik saja. Jantungnya seperti berhenti berdetak kemudian di dera rasa sesak yang teramat, se-kecewa itu.

"It's okay, kalian bisa sampai di titik ini aja itu udah hebat banget. Mama bangga sama kalian berdua." Mama memeluk kedua gadis yang kini menangis kecewa.

Ya, Shila dan Najwa baru saja membuka hasil seleksi masuk perguruan tinggi mereka. Keduanya begitu kecewa karena sama - sama menerima penolakan dari kampus impian mereka.

"Nggak papa, kecewa itu wajar. Tapi ingat, kecewa yang berkepanjangan juga nggak akan merubah hasilnya. Jadi, jangan buang - buang waktunya buat menyesali yang udah terjadi, kalian harus langsung bangkit karena masih ada jalur lain yang nunggu buat di perjuangin.

Mama tersenyum teduh kemudian mengusak pelan rambut kedua gadis itu, "Ayo, dong semangat! Kita kejar apa yang belum bisa kita tangkap sekarang, jangan biarin mereka lari semakin jauh karena penyesalan itu."

Keduanya mengangguk pelan, Bunda mencium pucuk kepala kedua gadis muda itu sebelum beranjak keluar dari kamar untuk membuatkan sesuatu yang bisa mengembalikan mood mereka.

"Shila, dengerin abang, Najwa lo juga. Gagal itu wajar. Udah jadi bagian dari proses yang mutlak dan nggak akan bisa di hilangin. Gagal emang sakit banget, tapi di balik itu semua kita bisa belajar buat lebih keras dan bikin perjuangan kita sedikit lebih sempurna." ujar Dio yang sejak tadi menyimak, lelaki itu memang meminta untuk melakukan panggilan video ketika Shila membuka hasil pengumumannya.

"Apa yang di bilang Mama bener, nggak ada waktu buat kalian nyesel sekarang. Kalian harus langsung bangkit meskipun belum sembuh sepenuhnya, kalian harus tetep berjuang beriringan sama rasa sakit yang entah kapan hilangnya. Percaya, hasil nggak akan mengkhianati usaha."

Shila menggigit bibir bawahnya pelan, ini adalah kali pertama Dio berbicara sepanjang ini sejak hubungan keduanya renggang. Gadis itu tersenyum kemudian mengangguk semangat, merasa lega karena kepergian Dio benar - benar untuk lelaki itu memperbaiki semuanya, bukan hanya hati dan perasaan lelaki itu tapi juga semua orang.

🌻

"Ma, Shila ke minima-" ucapannya terhenti ketika melihat seseorang yang kini duduk di sofa ruang keluarga bersama Mama dan kakaknya.

"Shila." orang itu berjalan menghampiri Shila kemudian memeluk tubuh gadis itu.

"Papa kangen banget sama kamu,"

Shila di buat mematung di tempatnya, entah kenapa sosok pria paruh baya yang kini berdiri di hadapannya menjadi seseorang yang enggan Shila temui.

"Kamu apa kabar? Maaf, ya Papa jarang jengukin kamu."

"Papa ngapain kesini?" tanya Shila enggan berbasa basi. Papanya tidak mungkin pulang ke rumah hanya untuk cuma - cuma.

Pria itu menghela napas pelan, "Shila, maafin Papa, ya. Selama ini belum bisa jadi ayah yang baik untuk kamu, Davin dan Dio. Papa minta maaf, buat semuanya."

Shila melirik kearah sang Mama yang kini menunduk dengan raut wajah tenang, berbanding terbalik dengan Davin yang seperti menahan amarah. Kemudian netranya beralih pada sesuatu yang tergeletak di atas meja.

"Itu apa?"

Hening. Pertanyaan singkat itu tidak ada yang menjawabnya. Hingga akhirnya suara sang Papa terdengar setelah beberapa detik terdengar.

"Shila boleh milih mau ikut Papa atau Mama."

Lemas. Itu yang Shila rasakan setelah mendengar kalimat itu, jantungnya seperti berhenti berdetak untuk sejenak.

Dear SMA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang