Pagi yang Buruk

1 0 0
                                    

"Kata gue, mah lepasin aja, Na."

"Dan penantian gue sia - sia?"

"Logikanya lebih sia - sia mana, lo yang berhenti mulai dari sekarang sama nanti pas lo udah makin jauh?" tanya Shila membuat Najwa terdiam sejenak.

"Emang lo bisa jamin Rafa bakal pindah haluan setelah lo perjuangin mati - matian? Belum tentu, Na. Kita nggak tau Rafa kayak gimana dalam berkomitmen. Bakal lebih sia - sia kalo udah jalan terlalu jauh." lanjutnya.

"Sekarang atau nanti sama sia - sianya, Shil."

"Beda, Na. Kalo sekarang kemungkinan lo pulih lebih cepatnya besar, lo bisa cari pengalihan apa pun itu. Tapi kalo nanti, bisa aja perasaan lo makin dalem dan lo bakalan sulit lepasin dia, ujung - ujungnya terobsesi." tutur Shila menatap tepat pada netra Najwa yang terlihat sendu.

Najwa diam lagi, yang di bilang Shila memang ada benarnya. Namun, sulit bagi Najwa untuk melepaskan begitu saja, apalagi selama di Bandung Najwa berusaha menjaga hatinya dan berniat untuk memulai dari awal setelah kembali ke Jakarta.

"Na, lo pantes dapetin orang yang jauh lebih baik. Mungkin Rafa emang baik, tapi mungkin juga takdirnya bukan sama lo. Lo nggak perlu berjuang sekeras ini buat milik orang lain, itu bukan tugas lo." Shila menggenggam tangan Najwa ketika mata cantik itu berkaca - kaca, kemudian menarik sepupunya ke dalam pelukannya.

🌻

"BUNDAA!!"

Ini bahkan masih pagi dan Arka sudah berteriak seperti itu. Bunda yang sibuk memasak untuk sarapan mengacuhkan panggilan putra bungsunya itu.

"BUNDA! BUKU ARKA DIMANA, KOK NGGAK ADA, SIH?!"

Bunda berdecak kesal, bisa - bisanya anak itu menanyakan keberadaan buku padanya. Karena tidak tahan dengan teriakan Arka yang belum berhenti juga, akhirnya Bunda menghentikan aktivitasnya dan berjalan menuju kamar Arka.

"Kalo bicara sama orang tua itu ya temuin, tanya baik - baik. Bukan malah teriak - teriak kayak gitu!" omel Bunda setelah masuk ke dalam kamar putranya.

Bunda menggelengkan kepalanya pelan melihat kondisi kamar Arka yang berantakan. Bunda rasa setiap hari dia menyuruh asisten rumah tangganya untuk membereskan kamar anak - anaknya.

"Buku Arka nggak ada Bunda, hari ini harus di kumpulin tugasnya!" tidak peduli dengan omelan sang Bunda, Arka dengan panik menggeledah kesana kemari guna mencari buku penentuan nyawanya hari ini.

"Ya, terus kenapa nanya Bunda? Yang punya buku, kan kamu." meski begitu, Bunda tetap membantu Arka mencari buku itu.

"Ya, Bunda kemarin beresin kamar Arka, nggak?"

"Yang tugas beres - beres, kan Bibi. Mana Bunda tahu."

"BIBI!"

Bunda memejamkan matanya mendengar teriakan Arka, tidak lama setelah itu bi Asih datang ke kamar Arka.

"Ada apa, den?"

"Bibi kemarin yang beresin kamar aku? Lihat buku aku nggak, di sampul warna cokelat." tanya Arka beruntun. Bi Asih diam sejenak, berusaha mengingat apakah dirinya melihat buku yang di maksud anak majikannya atau tidak.

"Seinget bibi, sih enggak den. Kemarin bibi nggak beresin bagian meja belajar karena masih rapi."

"Coba kamu inget - inget lagi, mungkin kamu lupa naruhnya dimana. Bisa jadi ketinggalan di sekolah, atau di pinjem temen kamu barangkali." ujar Bunda, merasa kasihan juga melihat wajah panik putranya.

Dear SMA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang