12. Paus

17 2 0
                                    

KAMI turun dari mobil dan berjalan menyusuri garis pantai dengan kamera di tangan kami masing-masing.

Suara gemerincing lonceng dari kapal membawa suasana nostalgia saat aku masih kecil bermain di tepi pantai bersama orang tuaku. Deru ombak menghantam pasir putih menimbulkan buih-buih pada cangkang kerang yang tertinggal. Aku terkejut karena aku pernah di sini bersama Chloe dalam realitas alternatif.

Sudah lebih dari sepuluh foto yang kutangkap selama lima menit. Sementara Nathan jarang sekali mengangkat kameranya.

Dia memandangku dengan tatapan aneh. Aku buru-buru memberikan klarifikasi.

"Aku butuh banyak foto untuk tugas fotografiku," kataku.

"Kurasa gayamu bukan selfie, tapi amatir."

Aku memutar mataku. "Baiklah, Tuan yang tahu segalanya. Mari kita lihat gambar apa saja yang sudah kamu dapat."

Nathan menyodorkan kameranya dengan enggan. Foto-foto terakhirnya adalah aku. Selain foto bekas luka yang di mobil, ada aku yang sedang berjongkok membidik matahari terbenam, aku yang sedang berlari mengejar burung camar, dan aku yang sedang mengambil selfie.

"Kupikir kamu lebih suka pada subjek yang menderita?"

Dia merebut kembali kameranya. "Kamu menderita."

"Aku tidak menderita," dengusku.

"Hampir menjadi korban Jefferson, sahabatmu meninggal dan sekarang malah terjebak denganku, kamu adalah subjek favoritku."

Aku tertawa miris. "Tapi aku tidak menderita sekarang."

Nathan hanya terdiam mengatupkan bibirnya, perlahan bibir itu membentuk sebuah senyuman. Tangannya mengutak-atik kembali kameranya.

"Kamu harus mencoba digital. Ketika kamu lulus dari Blackwell, orang-orang sudah melupakan polaroid," katanya. Rupanya dia mengatur kameranya menjadi auto sehingga lebih mudah digunakan. Dia memberikannya padaku.

Aku menggigit bibir bawahku. "Apa yang harus kukatakan? Aku tidak mengerti cara kerja kamera digital."

"Terlalu buruk dosen kita ditahan, kan?" Dia tertawa pahit, kemudian berdiri lebih dekat denganku. Dia meletakkan jariku di atas shutter lalu mengarahkan kameranya pada burung camar yang sedang bertengger di atas batu. Kami berada sekitar satu meter darinya. "Aku tidak membawa lensa makro, jadi jarak segini sudah cukup." Jarinya jatuh di atas milikku, kemudian menekannya sehingga bunyi klik tertahan selama setengah detik sebelum itu menangkap gambarnya.

Burung camar berada persis di tengah tiga garis bantu, itu terbingkai oleh bongkahan karang dan gulungan ombak.

"Lumayan," komentarnya.

Aku tersenyum. Terdapat kepuasan tersendiri mencoba hal baru. Aku mengarahkan kamera pada objek yang lain. Nathan tidak keberatan.

Aku mengambil gambar kepiting di pasir. Kemudian saat aku kembali berdiri, Nathan berjalan di depanku. Dia terlihat... bebas dan tenang di sini. Andai waktu bisa bertahan selamanya. Aku pernah menghentikan waktu, tetapi kalau begitu, tidak akan pernah ada momen. Aku membidik ke arahnya. Yah, bukan tembakan yang bagus, tapi aku menyukainya.

 Yah, bukan tembakan yang bagus, tapi aku menyukainya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
After The Storm (Life is Strange)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang