25. Sahabat

13 2 0
                                    

AKU memutuskan untuk menunggu sampai larut malam untuk mengetuk pintu Victoria. Selain aku harus menyusun rencana, kupikir malam hari adalah waktu yang tepat agar tidak dipergoki oleh David.

Lorong asrama putri sudah gelap. Kamar Dana yang biasanya pintunya terbuka dan menyalakan musik, kini tidak ada musik dan lampunya padam. Dia mungkin sudah tidur—atau sedang bersama Trevor. Aku berjalan mengendap menyeberangi lorong ke kamar Victoria.

Ketika pintunya terbuka, aroma vanilla yang familiar menerpa. Ini bukan pertama kalinya aku berada di kamarnya—atau—secara teknis aku pernah berada di kamarnya, tapi tetap saja, parfumnya terlalu kuat untuk mengingatkan kenangan buruk.

"Oh, Max?" desahnya terkejut. "Aku tidak mengharapkan kehadiranmu di depan pintuku."

"Victoria, aku hanya berpikir—"

"Tidak." Dia memotong kasar.

"Hanya dengarkan aku—"

"Tidak. Apa pun itu, tidak. Setelah kamu memaki-maki aku di kelas karena Nathan, aku tidak mau bicara denganmu." Dia hampir menutup pintunya, tetapi aku berhasil menahannya.

"Tolong, maafkan aku... Aku sangat membutuhkan bantuanmu saat ini."

Victoria berdecak berlebihan. Sesungguhnya itu agak membuatku kesal karena mengingatnya lagi sebagai bocah kaya sombong.

"Oh, jadi kamu butuh bantuanku sekarang?"

"Ini tentang Nathan."

Dia diam sejenak. "Dia akan pergi ke Inggris."

"Kamu tahu?"

"Tentu saja aku tahu." Victoria mengangkat ponsel yang ada di genggaman tangan dan kukunya yang mengkilap ke udara. "Berita apa pun bisa dengan mudah kudapatkan seperti oksigen, terlebih menyangkut sahabatku."

"Benar. Dia masih sahabatmu. Jadi bukankah menurutmu kita harus melakukan sesuatu untuk mencegah hal ini terjadi?" Aku berkeras.

"Mencegah apa?" Dia menyandarkan setengah berat tubuhnya dengan malas ke pintu. "Mereka akan merawat Nathan di sana."

"Tapi Nathan tidak ingin pindah ke sana. Itu akan membuatnya lebih merasa terbuang dan sendirian! Bukankah sudah cukup bagaimana kurangnya perhatian membuat Nathan bertindak bodoh dan semena-semena hingga membunuh sahabatku?"

Dia terdiam. Matanya terbelalak seolah tidak percaya aku bisa mengoceh seperti itu.

Victoria menghela napas berat. "Yah, Nathan memang benci sendirian. Bukannya dia suka pesta Vortex, seringkali dia menghindari lantai dansa. Dia hanya kesepian dan butuh suara orang-orang untuk meredam suara dalam pikirannya sendiri."

"Jadi? Kamu mau membantuku?"

"Aku akan lihat apa yang bisa kulakukan."

Kami menyapu kegelapan tempat parkir menuju mobil mercedes merah marunnya. Sama seperti kamar dan tubuhnya, bau mobilnya juga sama vanilla. Aku memakai sabuk pengaman yang meluncur lembut di dadaku.

Dia berkendara dengan lembut ke hutan melalui pepohonan dan awan gelap. Seiring naiknya asam lambungku di sela-sela jam yang menggelitik. Kuharap aku bisa lari dari kenyataan apa pun—kenyataan apa pun—hanya untuk lepas dari momen canggung bersamanya.

"Kamu tahu? Dia tidak pernah suka jika aku membicarakan tentang ayahnya." Victoria menggoyang-goyangkan kepalanya perlahan tanpa melihatku dan malah melamun memandang jalan. "Namun, ketika dia sedang kesal, dia tidak pernah berhenti membicarakan tentangnya. Seolah-olah sumber seluruh masalahnya adalah ayahnya."

After The Storm (Life is Strange)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang