19. The Prescott

13 2 0
                                    

MATAHARI telah terbenam ketika kami turun dari bukit. Nathan mengemudi dengan tenang. Salah satu tangannya berada di atas stir dan satunya lagi menggenggam tanganku.

"Bukankah kamu bilang ibumu ada di rumah? Mengapa kita ke sana?"

Dia memutar stirnya melewati jalan curam. Keahliannya mengemudi membuatku terkesan.

"Ibuku hanya singgah sebentar. Saat kita sampai di sana, dia pasti sudah pergi. Lagi pula aku hanya ingin mengambil beberapa barang."

Prescott Estate tersembunyi jauh dari Arcadia. Kami melewati puluhan pohon cedar untuk sampai ke sana. Aku pernah melihatnya dalam gambar yang dicetak Chloe saat kami melakukan investigasi di timeline lain. Namun, jelas itu lebih megah dari sekadar gambar hitam putih.

Bangunannya terbuat dari bata merah yang mirip seperti Blackwell. Ini jelas warisan turun menurun dan bisa jadi bersejarah. Setidaknya untuk para Prescott.

Berbicara tentang salah satu dari Prescott, Nathan turun dari mobil tanpa mengatakan apa pun. Aku mengikutinya dengan canggung.

Tidak ada mobil lain di halaman depan. Kami masuk melalui pintu putih besar yang berada di tengah-tengah dua jendela kayu yang diplitur cokelat.

Lantai kayu keras menyambut langkah kami. Di dalam udaranya hangat. Tidak banyak furnitur di sini, hanya ada beberapa lemari, sofa yang empuk dan mahal.

Kami menuju tangga di mana ada sebuah foto besar terpampang di ujungnya. Nathan menatap kamera dengan tegang. Rambutnya disisir ke belakang rapi. Dia mengenakan jas hitam dengan dasi kupu-kupu berdiri di samping lelaki yang memiliki rambut cokleat kastanye yang sama dengannya. Pria itu mengenakan jas hitam juga. Tatapan pria itu tetap mengintimidasi meskipun di balik kacamatanya. Di sampingnya berdiri seorang wanita cantik dengan kulit putih, rambut kemerahan bergelombang dan ada tahi lalat kecil di dekat bibirnya. Dia mengenakan gaun sutra dengan mantel bulu menutupi bahunya. Sementara di sampingnya lagi berdiri wanita muda berambut cokelat tua, mengenakan gaun putih selutut yang tersenyum ramah ke arah kamera. Itu pasti Kristine. Dia merupakan satu-satunya orang yang santai di sini.

"Hampir tidak sadar kalau itu kamu," kataku.

"Butuh waktu lima tahun untuk mengambil satu gambar."

Dia berjalan dan aku mengikutinya.

"Setidaknya kamu punya foto keluarga yang layak. Foto keluargaku diambil dari taman hiburan atau di meja piknik."

Dia diam sejenak. "Kalau begitu kamu beruntung. Kami tidak pernah ke sana."

Kami berbelok ke lorong dengan lebih banyak lukisan dan karpet merah di lantai. Lebih mirip rumah vampir di film.

"Ayahku pernah mengajakku melihat paus saat aku berusia enam tahun. Dia menyewa kapal pesiar dan kami berlayar selama tiga hari." Kami berhenti di depan pintu kayu mahoni. Dia memutar kenop pintu.

"Terdengar menyenangkan."

"Ya, tapi itu terjadi sebelum sesuatu yang buruk terjadi."

"Apa yang terjadi?"

Dia tidak menjawab.

Kami memasuki ruangan. Tak jauh berbeda dengan asramanya, hanya saja ruang dan lemarinya lebih besar. Tempat ini wangi, gelap dan bersih. Sangat menyeramkan.

Bulu kudukku meremang ketika melangkah masuk. Di samping pintu terdapat poster wanita yang telanjang termutilasi. Di dekat kasur berseprei hitam, terdapat susunan foto wanita terikat dengan lakban.

"Aku sangat berharap mereka semua adalah model yang menyetujui."

Nathan tidak menjawab. Dia hanya menutup pintunya lalu menuju lemari besi. Kamarnya dibiarkan gelap sementara dia membuka lemarinya.

Aku berdiri di belakangnya. Isi di dalam lemari itu tersusun rapi. Tumpukan uang dolar dan kamera.

"Aku mengharapkan beberapa sex-toys," komentarku.

Nathan tersenyum samar. Dia mengambil ransel hitamnya lalu mengisinya dengan bergepok-gepok dolar.

"Woah, santai tuan orang kaya. Mau kamu apakan uang sebanyak itu?"

"Aku membawa gadis sialan. Banyak yang harus kubeli," katanya.

Aku tertawa kering. "Percayalah, aku tidak akan semahal itu."

Dia berbalik mengambil lensa dan kameranya dari dalam lemari lalu memasukkannya ke tas juga. Setelah itu dia pergi ke meja belajar dan menarik lacinya, mengeluarkan dua botol pil kecil.

"Apa itu?"

"Obat sialanku."

Warna dan bentuknya sepertinya berbeda dari yang seharusnya dia minum. Bisa jadi itu adalah obat lain yang memiliki efek berbeda untuknya? Entahlah.

"Bisakah aku melihatnya?" Aku maju untuk meraih botolnya, tapi dia menyembunyikannya di balik punggungnya.

Nathan melemparkan botol obatnya ke dalam tas lalu mendorong tubuhku ke kasur. Dia menghimpitku sehingga aku tidak bisa bergerak.

"Kenapa kamu selalu usil, Max?"

"Yah, setidaknya itu yang membuat kita bersama sekarang."

Dia menggeram tidak sabar. Tangannya mencengkram leherku, menekannya lembut.

"Kamu seharusnya mematuhiku," dia meraung.

"Tergantung pada apa yang akan kudapat."

Dia tersenyum bagai predator yang hendak memangsa. "Kamu penuh omong kosong. Aku akan lebih menghormatimu jika kamu melakukan dengan mudah apa yang aku perintahkan."

"Aku tidak butuh rasa hormatmu, Prescott. Sekarang mundurlah!" Aku mendorongnya dengan sekuat tenaga, tapi dia menahan kedua lenganku.

"Jika kamu pintar, kamu akan mematuhiku." Bibirnya mulai menelusuri leherku.

"Hei, bukankah cukup dengan apa yang kita lakukan di mercusuar?"

Dengusannya kesal, membuatku geli. "Tidak pernah cukup. Seseorang menyebut sex-toys."

Aku hendak bersandar padanya, tapi dia memberi jarak di antara kami untuk mengambil sesuatu di laci tempat tidurnya. Sepasang benda metalik, bersinar seperti hadiah Natal baru.

"Apa itu?"

Rasa penasaranku dibalas ciuman kasar darinya.

"Tutup mulutmu."

Dia melepaskan kausku, lalu bra-ku. Aku benar-benar telanjang dada di kasurnya.

Bibirnya menghisap puting merah jambuku, mencium dan menjilatnya sampai basah. Aku tahu dia memerintahkanku untuk tutup mulut, tapi bagaimana caranya? Aku terus menutup mulutku, napasku bertambah buruk.

Saat aku hendak memprotes, dia menempelkan benda yang ada di tangannya ke putingku. Ini bekerja sebaik mulutnya, hanya saja lebih baik. Sensasi yang aku dapatkan membuat otakku berhenti dan aku memejamkan mata. Itu terus-menerus mencubitku dan membuat tubuhku menggigil.

"Apa ini? Apa yang kamu lakukan padaku?"

Dia bergerak menjauh, menatapku dengan senyum puasnya.

"Bagaimana rasanya?"

"Ini... enak," jawabku terengah.

"Bagus." Dia mencondongkan tubuh lagi ke tubuhku dan terus menciumi leherku sambil tangannya menyentuh pahaku.

"Nathan?"

Sebuah suara bergema dari lorong membuat kami membeku.

"Sialan. Itu ayahku."

.

.

.

RILIS SETIAP MINGGU

After The Storm (Life is Strange)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang