AKU terpaku pada tempatku berdiri. Dia menolehku.
"Kamu ikut, tidak?"
Suaranya hampir separuh kecewa dan separuh berharap.
"Nathan, kita tidak bisa pergi."
Dia tersenyum masam. "Aku tahu kamu tidak akan mau pergi denganku."
Aku berjalan mendekatinya. "Bukan begitu." Tanganku yang kedinginan menangkup tangannya yang masih hangat karena rokok. "Aku telah belajar bahwa kita harus menghadapi masalah, bukan lari darinya. Kita harus mencari cara lain untuk menyelesaikan ini. Aku tahu kita bisa."
Dia mengangkat wajahnya menautkan matanya padaku. Terdapat secercah harapan yang kembali terbit di sana.
"Setelah ini semua selesai dan aku lulus dari Blackwell, kita pergi ke Seattle, tempat orang tuaku berada. Aku sangat menantikan hari itu," kataku.
"Tapi bagaimana kita menghadapinya?" Dia berbisik lembut sambil mengelus pipiku.
"Pertama-tama, kupikir kamu harus bicara dengan ayahmu. Aku akan menemanimu jika kamu mau."
Dia mengernyit dalam. "Apa? Tidak!" Tubuhnya mundur menjauhiku.
"Kita harus tahu apa yang sebenarnya diinginkannya. Dia tidak mungkin begitu saja membunuhmu. Kamu satu-satunya anak laki-laki yang dia miliki, satu-satunya harapannya."
"Ide buruk, Caulfield." Dia meludah. "Dia akan menggantung kita berdua."
"Baiklah." Aku menelan ludahku. "Apakah kamu masih meminum obatmu?"
Dia mengangguk. "Tapi itu sudah hampir habis."
Bagaimana pun, Nathan masih butuh pengobatan. Dia tidak bisa bertahan tanpa obat-obatan yang mampu mengontrol kemarahannya. Meski pun belakangan ini sikapnya membaik, aku tidak boleh lengah. Satu-satunya sponsor untuk pengobatan Nathan adalah ayahnya. Dia yang memberikannya obat itu dari dokter dan memberinya uang. Tanpa itu semua Nathan akan kacau.
"Kita harus mencari sebuah tempat yang cocok untukmu," kataku.
"Apa maksudmu?"
Aku maju selangkah lagi mendekatinya sambil menggenggam tangannya lagi. "Apakah kamu mencintaiku?"
Terdapat jeda yang sama seperti saat dia menanyakan itu padaku. Dia tidak menjawab, hanya menutup jarak kami dengan menempelkan bibirnya pada bibirku. Kami berpagutan selama beberapa saat.
"Aku tidak bisa kehilanganmu," bisiknya.
"Aku juga ingin selalu bersamamu." Aku bernapas di tengah degupan jantungku yang makin keras setelah dia menciumku seperti itu. "Itulah mengapa... itulah mengapa menurutku kamu harus pergi ke rumah sakit jiwa."
Dia menatapku kecewa. Meski pun dia tidak melepaskan tubuhku yang menempel padanya, dia seperti akan terkulai hancur ke tanah.
"Kamu butuh pengobatan, aku ingin kamu sehat dan kita... kita bisa hidup lebih baik," kataku hati-hati.
Dia hanya terdiam kemudian melepaskanku. Kakinya melangkah berat menuju mobil.
Aku mengikutinya masuk ke mobil. Nathan menatap ke depan tanpa menunjukkan tanda bahwa dia peduli dengan kehadiranku.
"Aku tidak akan pergi ke Inggris," ucapnya dingin.
"Tidak. Bukan Inggris."
"Lalu? Kamu ingin aku berada di rumah sakit jiwa di Arcadia?" bentaknya. Suaranya membuatku berjengit.
Aku diam sejenak menunduk. Bukan ini yang aku maksud. Pembicaraan tentang ini memang akan selalu memicu kemarahannya. Aku mengerti itu menyinggung perasaannya dan seolah menyiratkan bahwa aku kurang percaya padanya, tetapi sesungguhnya aku hanya ingin membantunya, seperti niatku di awal.
KAMU SEDANG MEMBACA
After The Storm (Life is Strange)
Novela JuvenilMax Caulfield harus mengatasi traumanya sendiri setelah mengorbankan sahabatnya, Chloe-dan memutuskan untuk membantu Nathan Prescott-tanpa mengetahui bahwa bencana yang lebih besar akan segera mengancam kehidupannya dan kotanya. 🔞⚠️ DARAH, TEMA SE...