SUHU menjadi turun begitu aku masuk.
Dia menghimpitku di pintu. Tangannya masih berada di mulutku ketika aku meronta-ronta.
Dia tampak begitu liar dan lepas kendali sehingga aku merasa sedikit simpati bahwa dia jelas membutuhkan bantuan, tapi kemudian aku teringat dia juga bajingan dan sangat berbahaya bagiku.
Dia masih memakai pakaian yang sama seperti tadi sore saat mengkonfrontasiku. Jaket merah bomber menyelimuti kardigan putih dan kaus hitam. Bahkan rambut cokelat terangnya masih rapi oleh gel.
"Kamu tidak tahu dengan siapa kamu berurusan, Max Caulfield!" gertaknya.
Aku berteriak supaya dia melepaskanku, tetapi dia tetap membekapku dan menahan tanganku.
"Kumohon, lepaskan..."
Dia melonggarkan tangannya yang ada di mulutku.
"Katakan yang kamu inginkan sehingga berada di sini!"
"Aku hanya mengunjungi Warren karena kamu sudah membuatnya babak belur tadi!"
Dia menyeringai. Mata birunya yang waspada melekat di mataku. "Itu sepadan. Jadi berhentilah mencampuri urusanku!"
Jika Nathan mendapatkan lebih banyak bantuan, lebih banyak dukungan, mungkin ini akan menjadi berbeda. Aku benci apa yang dia lakukan, tetapi aku tidak bisa membenci dirinya....
"Aku tidak! Oke? Aku hanya ingin membantu," kataku. Aku berjuang melepaskan tanganku darinya. Mungkin dia memiliki pistol di suatu tempat di kamarnya, aku harus tetap berhati-hati.
Aku menyapukan pandanganku sekilas pada keseluruhan kamarnya. Rasanya baru kemarin aku masuk ke sini, tetapi di timeline ini aku baru pertama kali ada di sini. Semuanya sama persis dari penerangan yang minim, kasur bersprei hitam, sofa hitam misterius yang menyembunyikan sesuatu di baliknya, foto-foto penyiksaan wanita, proyektor yang menampilkan foto hitam putih dan tumpukan DVD film sadisme.
Dia melepaskan tanganku. Seringainya meremehkan. Dia berusaha keras untuk terlihat kuat dan mendominasi, tetapi aku justru semakin kasihan padanya.
"Aku tidak butuh bantuanmu, Caulfield! Atau bantuan dari siapa pun. Urus saja dirimu sendiri."
"Nathan, dengarkan aku," Aku meraih tangannya dan berusaha berbicara dengannya lembut. "Berada di rumah sakit jiwa jauh lebih baik daripada kamu mati oleh Jefferson. Aku tahu ayahmu memperlakukanmu dengan buruk dan kamu butuh penanganan yang serius."
Dia menyentakkan tanganku dengan kasar sampai membentur pintu dan membuat kulitku berdenyut-denyut.
"Kamu tidak tahu apa-apa tentangku atau ayahku!" bentaknya.
"Kalau begitu beritahu apa yang harus aku tahu."
"Kenapa? Supaya kamu bisa berpura-pura untuk peduli? Aku tidak butuh belas kasihanmu, Caulfield." Suaranya dingin, tetapi dia tidak berusaha menyakitiku lagi.
"Aku memang peduli padamu, Nathan," kataku sambil menggenggam lengannya lagi.
"Kenapa? Apa yang kamu inginkan? Aku telah membunuh punk sahabatmu itu, jadi kenapa kamu peduli padaku? Kecuali kalau kamu ingin membuat hidupku semakin menderita! Hidupku sudah seperti neraka jadi-"
Dia menghentikan kata-katanya dan menunduk di depanku.
"Pergilah, aku tidak ingin menyakitimu," bisiknya sambil medorongku keluar dari pintu.
Aku menariknya dan memeluk tubuhnya. Kepalaku tepat berada di dadanya di mana jantungnya berdegup kencang. Napasnya memburu di atas kepalaku.
"APA YANG KAMU LAKUKAN? KAMU SUDAH GILA? LEPASKAN AKU!" Dia memberontak.

KAMU SEDANG MEMBACA
After The Storm (Life is Strange)
Roman pour AdolescentsMax Caulfield harus mengatasi traumanya sendiri setelah mengorbankan sahabatnya, Chloe-dan memutuskan untuk membantu Nathan Prescott-tanpa mengetahui bahwa bencana yang lebih besar akan segera mengancam kehidupannya dan kotanya. 🔞⚠️ DARAH, TEMA SE...