17. Erat

19 2 0
                                    

DIA berdiri dengan satu selfie-ku di tangannya.

"Apa yang kamu lakuk—"

Nathan menoleh. Dia memasukkan fotoku di saku belakangnya lalu berjalan ke arahku. Tangannya membanting pintu kemudian merengkuh daguku.

"Aku tidak akan meminta dua kali, Caulfield. Bercintalah denganku."

Pilihan dan segala konsekuensinya...

Aku tahu apa pun pilihanku, aku tidak akan bisa kembali. Aku sudah tidak punya kekuatan itu lagi.

Sekarang aku benar-benar ingin memanfaatkan masa mudaku dan menjalani saat ini. Lagi pula, tidak ada seorang pun di antara kita yang mempunyai kekuatan untuk memundurkan waktu, jadi apa yang kita dapatkan itulah yang sesungguhnya.

"Baiklah, Prescott."

Nathan melumat bibirku kasar sampai aku terengah-engah.

Ciuman anak orang kaya itu. Selalu ada yang mewah di sana. Entah itu karena aroma mentolnya atau karena perlakuan lidahnya di dalam mulutku. Itu membuat jantungku berdebar-debar. Keputusasaan dan keinginan yang meledak membuat ciumannya tak terkendali.

Aku selalu berpikir itu akan menjadi milik Warren, tapi ternyata garis waktu menipuku.

Seharusnya aku bisa bertanya dulu, kenapa atau bagaimana? Tapi otakku sudah tidak mampu berpikir.

Darah meluncur dari hidungku. Aku termegap seketika karena pusing.

"Tunggu. Kamu berdarah."

Dia berubah lembut membuatku takut.

"Terlalu bersemangat." Aku meringis lalu menciumnya. Kedua lenganku di belakang lehernya.

Saat memejamkan mata, badai yang kelewat nyata ada di benakku. Badai yang persis terjadi di garis waktu sebelumnya.

Badai di mercusuar.

Aku menarik wajahku mundur.

"Berengsek. Ada apa sekarang?" semburnya marah. "Aku tidak bisa berhenti."

Dia mendorongku ke kasur dan menciumi leherku.

"Oh, sial... Aku sangat membencimu." Dia terengah.

"Kita tidak bisa—"

"Aku tahu kamu juga menginginkannya," geramnya.

"Kepala Sekolah—" Aku hampir tidak bisa berbicara atau bernapas karena dia terus menutup bibirku dengan bibirnya.

"Dia harus keluar dari Blackwell jika mengacau denganmu lagi!"

Setiap sentuhan yang dia tekan di kulitku membuatku terangsang meski aku sedikit takut. Dia menggigit tulang selangkaku.

"Ah. Nathan!" Aku berteriak tanpa sadar.

Nathan menarik mundur wajahnya lalu bangkit dari kasur. Dia mengunci pintu kamarku kemudian melepaskan celana panjangnya. Kini dia hanya memakai boxer.

"Apakah ini jebakan?" Aku bertanya.

Dia mengangkat wajahnya menatapku. Keraguan berkilat di matanya. "Apakah ini? Jika ini jebakan, itu pasti darimu."

"Mengapa aku?"

"Karena jika Victoria mendengar kita, aku lah yang malu. Sialan!"

Nathan bangkit dan ekspresinya berubah terluka. Dia mengambil celananya, hendak mengenakannya kembali.

"Tidak ada yang menyukaiku... Semua orang membenciku," gumamnya sambil memakai celana.

"Tunggu." Aku menariknya. "Jangan pergi."

After The Storm (Life is Strange)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang