21. Rahasia

10 2 0
                                    

LANGIT gelap dan penuh teror angin puting beliung mistis yang menuju ke kota. Guyuran hujan membuat tubuhku menggigil. Aku berdiri di atas bukit dekat mercusuar lagi!

Apa yang terjadi?

Ini tidak nyata. Ini pasti mimpi. Mengapa mimpi buruk ini terus kembali? Aku berlari turun dari bukit menembus kegelapan malam.

Ketika membuka mataku, aku kembali berada di kamar motel kecil yang atapnya rendah. Tubuh lain terbaring di sisiku dengan lengannya memelukku. Dadanya naik turun teratur, tetapi mata birunya terbuka membeku menatapku.

Melegakan juga sebenarnya melihat Nathan masih di sisiku. Aku takut ayahnya akan menyeretnya atau yang lebih buruk lagi adalah dia meninggalkanku.

Dia tidak tersenyum, hanya menempelkan hidungnya padaku.

"Kamu tidak tidur?" tanyaku.

"Aku harus mengawasimu."

Suaranya serak. Mungkin semalaman dia menangis.

"Aku terkejut aku masih utuh."

Dia diam sejenak, menatapku dengan matanya yang takut. "Apakah kamu—merasa lebih baik?"

"Aku sudah bisa bernapas sekarang," jawabku.

"Sekarang kamu sudah tahu kelemahan sialanku. Biasanya orang-orang akan pergi setelah mereka tahu."

"Aku tidak akan pergi," kataku memeluk tangannya. "Aku sudah berjanji padamu."

"Aku—maafkan aku, Max." Dia menutup matanya, bibirnya mencium tanganku.

"Tidak. Ini salahku. Harusnya aku mematuhi perintahmu, kan?"

"Aku sangat menyesal."

"Yang terpenting kita sudah bersama sekarang," kataku.

"Dengarkan, Max... Aku memang mencintaimu, tapi bukan berarti itu membuatmu kebal peluru. Suatu saat mungkin aku bisa membunuhmu. Aku akan membunuhmu."

Suaranya bergetar penuh air mata dan jujur saja kata-katanya membuatku merinding. Namun, aku tidak bisa lari sekarang. Ini adalah takdir yang kupilih.

Aku menangkup wajahnya untuk mencium lembut bibirnya. Dia membalas ciumanku dan setelah kulepaskan, dia menciumku balik.

"Sekarang, maukah kamu menjelaskan apa yang dimaksud dengan ayahmu tentang 'tornado yang dijanjikan'?"

Dia diam sejenak, mengernyit. Mungkin tidak menyangka aku mendengarkan percakapan mereka.

"Aku akan menjawab pertanyaanmu sebelumnya. Alasan mengapa ayahku tidak mengajakku melihat paus lagi adalah karena dia bertemu dengan seorang wanita sialan."

"Perselingkuhan?"

Alisnya menekuk tegang. "Bukan!"

"Baiklah, siapa wanita itu?"

"Dia hanya—seorang wanita aneh yang bisa meramal," kata Nathan.

"Sean Prescott percaya ramalan?"

"Aku tahu, itu aneh, tapi dia memang percaya." Dia menarik napas berat. "Dia percaya pada semua yang wanita berengsek itu katakan... bahwa takdirku berada di Arcadia, bahwa Pan Estate akan sukses. Sejak itu ayahku bersikap menyebalkan padaku. Dia berusaha 'mempersiapkanku' untuk takdir sialanku."

"Pan Estate? Proyek terbaru Prescott tentang... tempat tinggal, kan?" tanyaku.

Dia mengangguk. "Itu rencananya. Ayahku ingin mengusir semua penduduk terutama orang miskin dan membangun lingkungan baru untuk orang-orang elit. Pembangunannya... membuat ketidakseimbangan alam—seperti yang kamu lihat, tidak ada ikan, tidak ada nelayan."

Titik-titik terhubung di kepalaku. Itu kejam. Itulah alasan semua orang di kota ini membenci Prescott.

"Dan tornadonya?" Aku bertanya semakin merinding.

"Kata wanita gila itu... Tornado seharusnya datang beberapa minggu lalu... untuk memusnahkan semua orang—kecuali Prescott... dan Mr.Jefferson... jika saja... segalanya tidak kacau. Kami harusnya bertahan hidup di dalam bunker Kamar Gelap."

Dadaku berdebar-debar. "Kapan tornado harusnya datang?"

Dia mengernyit. "Kamu percaya pada ramalan itu? Itu hanya ramalan bodoh—"

"Kapan itu harusnya datang, Nathan?" potongku.

"11 Oktober lalu."

Sial. Jadi, tornado itu memang harusnya datang? Kupikir itu... karena aku mengacau dengan waktu untuk menyelamatkan Chloe....

Bagaimana bisa saling terhubung satu sama lain? Aku memilih untuk mengorbankan Chloe sehingga tornado itu tidak jadi menghancurkan kota ini, tapi sekarang Nathan yang berada dalam bahaya.

"Ya Tuhan..."

"Ada apa, Max?" Dia menggenggam bahuku.

"Nathan, bukankah aku pernah memberitahumu bahwa aku tadinya bisa memundurkan waktu?"

Dia tersenyum aneh. "Kamu pasti bercanda sialan, Max."

"Tidak! Dengarkan aku!" Aku menahan tangannya. "Aku pernah memiliki penglihatan badai itu datang pada 11 Oktober... seharusnya memang datang. Kupikir itu adalah konsekuensi dari kekuatanku karena menyelamatkan Chloe dari kematian, jadi aku kembali ke waktu kamu menembak Chloe dan memilih pilihan yang berbeda."

"Berengsek. Tidak mungkin. Aku tidak percaya padamu."

"Kamu pikir bagaimana aku bisa tahu semua tentangmu? Itu karena aku sudah melihatnya sebelumnya. Aku ada di sana ketika badai itu datang, Nathan!"

Nathan terperangah. "Dan... apakah kamu masih memiliki kekuatan sialan itu?"

"Tidak lagi, tapi kurasa aku masih bisa melakukan perjalanan waktu menggunakan foto. Ketika aku melihat foto yg kuambil di hari itu di kamar mandi, kurasa.... aku bisa kembali ke sana."

Alisnya berkedut cemas. Sepertinya dia sudah memahami apa yang kukatakan dan tahu ke mana ini akan mengarah, tapi takut untuk mengakuinya.

"Jadi?"

"Mungkin aku bisa menggunakannya untuk kembali ke masa itu lagi. Aku akan tetap menyelematkan Chloe, membiarkan badai datang... sehingga ini semua tidak terjadi dan kamu akan aman."

Dia mundur sejenak. Matanya berubah panik dan marah. "Fuck it! Aku lebih baik mati daripada tidak mengingat apa pun yang terjadi di antara kita! Jangan berani-berani kamu kembali ke masa lalu dan mengubah segalanya, Max!"

Aku hanya terdiam. Dia benar, jika aku kembali ke masa itu, maka semua kenangan bersamanya akan terhapus. Bukan hanya kehilangan Chloe, aku juga kehilangan Nathan.

"Jangan berani-berani kamu melakukannya, sialan!"

"Baiklah. Tidak untuk sekarang," kataku berusaha tenang. Aku turun dari kasur lalu membuka jurnalku untuk mengambil fotonya. "Ini. Kamu bisa menyimpannya."

Nathan menerima foto itu. Dia memandangnya sesaat. Ibu jarinya mengelus foto.

"Sulit untuk memercayai hal sialan ini, tapi aku akan menyimpannya untuk berjaga-jaga," katanya lalu memasukkannya ke saku celananya.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang? Ayahmu akan mengejar kita."

Dia mengusap wajahnya dengan kedua tangan. "Kita harus kembali ke asramamu. Kamu masih ingat rencana kita untuk... memasukkanku ke rumah sakit jiwa di Seattle?"

"Uh... ya."

"Kita harus cepat mendaftar. Aku punya banyak uang," katanya melirik tasnya.

Aku maju mendekatinya. "Kamu sungguh-sungguh tentang ini?"

Dia menarik tanganku sehingga tubuh kami berpelukan. "Selama kamu selalu bersamaku."

"Aku tidak akan pernah meninggalkanmu."

.

.

.

RILIS SETIAP MINGGU

After The Storm (Life is Strange)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang