KAMI kembali ke asrama hanya untuk mencari Nathan di kamarku.
Dia tidak ada di sana.
Kamarku gelap dan sepi. Dingin. Menyedihkan.
"Dia tidak ada di sini," bisikku lemah.
"Baiklah. Kamu sebaiknya istirahat, Max. Kita hanya perlu menunggu kabar dari polisi."
Aku berbalik ke arahnya. "Apakah kamu tidak mengerti, Victoria? David menculiknya! Dia bisa saja membunuhnya. Nathan bisa saja sudah mati saat ini!"
Victoria terdiam menatap lantai.
Aku tahu, dia bukannya tidak peduli. Dia hanya takut menghadapi kenyataan. Malahan, mungkin dia sudah memungkinkan apa yang akan terjadi besok sehingga menyuruhku untuk tidur dan dia menyiapkan gaun hitam miliknya....
"Aku tidak akan tidur," kataku. "Jika kamu tidak bisa tidur juga, kamu bisa ke kamarku kapan saja."
"Baiklah. Selamat malam, Max." Victoria keluar dari kamarku tanpa menatapku lagi.
Aku sama sekali tidak repot-repot menyalakan lampu. Mungkin itu untuk menjaga harapan bahwa mungkin Nathan bisa tiba-tiba keluar dari lemari pakaian dan mengagetkanku.
Aku duduk di meja belajar, menyalakan laptop.
Dia tidak akan datang.
Jam di laptop menunjukkan pukul setengah empat pagi. Selama aku membuka mataku, tidak ada derap langkah kaki curiga atau senter yang mengarah-ngarah cemas dari bawah celah pintuku. Itu artinya David tidak berpatroli dan sudah pasti dia menculik Nathan.
Aku tidak akan menunggu lagi kabar dari polisi. Aku meraih tasku lalu keluar dari asrama.
Udara dingin menyerbu kulitku. Hanya butuh waktu sekitar sepuluh menit sebelum Samuel keluar dari ruangannya dan mengkap basah aku. Aku tidak ingin semuanya menjadi kacau seperti kemarin dia melaporkanku dan Nathan, jadi aku melesat sebelum ada satu pasang mata pun memergokiku.
Aku berjalan cepat hingga bertemu dengan bus pertama yang melintas di jalan. Belum ada penumpang sama sekali. Sejujurnya aku juga mengantuk. Aku memasang headset-ku dan mendengarkan soundtrack akustik keren sepanjang jalan.
Sinar matahari mulai merayap membelah garis cakrawala di laut. Aku membuka mataku saat bus hampir sampai di tujuanku.
Aku turun di halte terdekat ke rumah Chloe, setelahnya aku tidak bisa berjalan santai dan memilih berlari untuk semakin menyiksa sarafku.
Butuh ketukan beberapa kali sampai Joyce membuka pintunya.
Wajahnya kusut dan matanya merah. Wanita ini juga tidak tidur.
"Max? Ada apa? Ini masih terlalu pagi." Dia merapatkan baju tidur kimononya.
"APAKAH DAVID DI SINI?" Suaraku bergetar dan lebih keras dari seharusnya.
Joyce mengernyit tidak suka dari nada bicaraku. Dia melipat kedua tangannya di depan dada.
"Aku minta maaf, Joyce... Aku hanya ingin tahu apakah... apakah—" tanpa sadar air mataku meluncur deras, aku sesenggukan dan Joyce menarikku dalam pelukannya.
"Oh, sayang... apa yang terjadi?"
Pilihan yang rumit. Aku bisa saja memberitahu Joyce yang sebenarnya, tetapi itu akan menghancurkan hubungan Joyce dengan David. Bagaimana pun aku tidak memiliki hati untuk menghancurkan hati Joyce.
"Aku hanya ingin tahu apakah David di rumah?"
Joyce menangkup wajahku dengan kedua tangannya dan menatapku penuh kelembutan persis seperti ibuku.
"Ya, sayang. Dia di rumah."
Ini tidak benar. Mengapa dia ada di rumah? Dan... bukankah sebelumnya Joyce mengatakan akan bercerai dengan David? Mengapa dia ada di sini Apakah itu berarti... dia telah selesai melakukan tugasnya?
"Tidak tidak..." tolakku histeris. Aku mundur darinya. "Maukah kamu mengatakan padaku ke mana saja dia semalam?"
"Dia tidak memberitahuku, dia baru pulang sekitar dua jam yang lalu. Ada apa sebenarnya, Max?"
Kepalaku berputar. Ditambah tidak tidur semalam membuatku seperti tenggelam di dalam air laut yang asin. Aku hampir saja terjatuh di lantai saat Joyce menangkap tubuhku. Wajahku hampir menyentuh tanah.
"Sayang, istirahatlah dulu di sofa." Dia mengangkat lenganku perlahan.
Aku mengalihkan pandanganku pada ceceran pasir putih di depan pintu masuk, tepatnya di samping sepatu vantofel cokelat. Seluruh warga Arcadia Bay pasti tidak akan asing dengan pasir putih ini, sebagaimana kami hidup di sini sepanjang hidup kami. Itu pasir pantai dari sepatu David.
"Joyce, aku harus pergi."
"Max, masuklah dulu untuk sarapan." Dia menahan erat lenganku. "Aku akan membuatkan pancake kesukaanmu dan Chloe."
"Tidak. Kau tidak mengerti. Aku harus pergi." Aku berjuang untuk melepaskannya, tetapi dia tidak mau melepaskanku.
"Kamu yakin tidak mau pancake?"
"Tidak!"
"Chloe akan kecewa jika kamu menolaknya."
"Lepaskan aku, Joyce!"
"Bertahanlah dulu di sini, Max. DAVID! DAVID! MAX ADA DI SINI!" teriaknya ke arah lantai atas.
Hanya membutuhkan waktu sedikit untuk menghubungkan titik yang ada. Dia tahu!
Dia tahu selama ini aku bersama Nathan. Dia tahu selama ini aku menyembunyikan Nathan. Dia tahu bahwa aku memilih Nathan daripada Chloe. Dan... dia tahu tentang rencana David.
"Tidak! Lepaskan aku, Joyce!"
"Maafkan aku, Max. Kamu harus benar-benar berada di sini. Kami tidak akan menyakitimu," katanya dengan air mata di ujung kelopak matanya.
Suara kedebug dari lantai atas menyusul suara pintu ditutup. Kemudian langkah kaki berlari cepat menuruni tangga.
Aku menghempaskan tangan Joyce yang menahanku, bagaimana pun aku masih lebih kuat.
Aku berlari, berlari dan terus berlari sampai paru-paruku hampir pecah. Bus yang menuju ke pantai hampir meninggalkan halte ketika aku sampai di saat yang tepat. David bisa lebih cepat dariku, tapi aku berharap kali ini waktu benar-benar berada di pihakku, sekali lagi.
.
.
.
RILIS SETIAP MINGGU
![](https://img.wattpad.com/cover/347813879-288-k637658.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
After The Storm (Life is Strange)
Teen FictionMax Caulfield harus mengatasi traumanya sendiri setelah mengorbankan sahabatnya, Chloe-dan memutuskan untuk membantu Nathan Prescott-tanpa mengetahui bahwa bencana yang lebih besar akan segera mengancam kehidupannya dan kotanya. 🔞⚠️ DARAH, TEMA SE...