---
"Namanya Vanka. Salah satu mahasiswa yang gue bimbing di kampus. Dan secara kebetulan dia juga salah satu anggota keluarga Gautama."
Bulan dan Bintang melongo. Menatap Vanka dan Bumi bergantian sebelum kompak menggaruk pelipis mereka dengan bingung.
"Dan kebetulan kalian pacaran lalu Gautama gak merestui hubungan kalian?"tanya Bulan dengan suara lebih pelan. Bumi melirik Vanka terlebih dahulu sebelum mengangguk.
"Kurang lebih seperti itu."
Bintang langsung berdecak malas. Ia memutar bola matanya dengan jengah lalu menatap Bumi tak suka.
"Ya lo pikir lah kak sebelum pacarin anak orang. Kalo dia beneran Gautama, gue juga gak akan setuju. Hidup lo udah susah, jangan nambah-nambahin beban lah."
Bulan meringis. Menatap Vanka dengan perasaan bersalah. Wanita yang duduk disamping Bumi itu tampak lebih gusar dibandingkan dirinya.
"Maaf, kak, bukan maksud kami menganggap kakak beban. Hanya saja--"
Vanka langsung menggelengkan kepalanya. "It's okay. Memang menjadi bagian dari Gautama ini kadang jadi beban yang cukup berat,"
Gadis itu lalu bangkit dari duduknya. "Setelah saya pikir-pikir memang sebaiknya saya tidak kesini malam ini,"
Bumi langsung menghela napas. Ia ikut bangkit berdiri. Menggamit lengan Vanka lalu membawanya masuk ke dalam sebuah kamar. Melirik adik-adiknya untuk tetap diam lalu ia segera menutup pintu.
Kamar itu berukuran dua setengah kali tiga meter. Tampak rapi karena tidak banyak barang-barang yang ada disana. Hanya sebuah kasur single dengan dipan kayu setinggi lutut. Disampingnya ada sebuah meja dengan kursi berdampingan dengan sebuah lemari yang juga terbuat dari kayu setinggi satu setengah meter. Sisanya tidak ada apa-apa lagi.
Tidak ada pajangan, tidak ada televisi ataupun hal-hal lain. Dindingnya yang berwarna putih juga polos tanpa tempelan ataupun pajangan. Dari wangi yang tercium, Vanka tahu bahwa ini adalah kamar Bumi.
Tangan Bumi terangkat menunjuk sebuah pintu di samping lemari. Berdampingan dengan sebuah gantungan yang menopang sebuah handuk berwarna biru gelap disana.
"Disana kamar mandi. Satu-satunya yang mungkin bisa kamu pakai."
Bumi lalu melangkah menuju lemari. Mengambil sebuah kaos hitam dari sana lalu mengulurkan pada Vanka.
"Bisa kamu jadikan pakaian ganti."Bumi lalu menaruh tas yang tadi diserahkan bodyguard di atas kasur. "Tas kamu saya taruh di sini."
Laki-laki itu lantas meninggalkan Vanka sendiria. Menutup pintu dengan rapat lalu kembali duduk di kursi plastik di ruang tengah. Menghadap pada kedua adiknya yang masih menunggu jawaban.
"Apa yang sebenernya lo lakuin, kak?"
Pertanyaan Bintang sangat lugas. Ia tampak sangat tidak suka dengan keberadaan orang-orang yang malam ini datang terlebih lagi ketika Bumi membawa masuk perempuan bernama Vanka tersebut.
Baginya hidup Bumi sudah amat berat harus menanggung semua beban keluarga mereka, keberadaan Vanka hanya akan menyulitkan mereka terlebih lagi bagi Bumi sendiri. Bukan hanya karena karena fisiknya yang tak sempurna tapi justru karena kesempurnaan latar belakang yang dimiliki oleh Vanka.
"Lo macarin anak yang punya perusahaan tempat lo kerja? Niat lo apasih?"
Bumi melirik Bulan yang tampak lebih kalem. Walau gurat khawatir tidak bisa dihilangkan dari matanya.
"Kakak beneran pacaran sama dia?"tanyanya pelan. Mau tak mau dijawab Bumi dengan anggukan.
Laki-laki itu mengusap wajahnya sebelum menatap Bintang dan Bulan bergantian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imperfect Princess [FIN]
RomanceApa yang paling penting dari sebuah kehidupan? Apa yang paling bermakna dari sebuah pencapaian? Proses. Unsur. Hara. Tidak ada yang jauh lebih penting dari setiap molekul yang membentuk sebuah proses hingga mampu bergerak menjadi kehidupan. Bergerak...