4

1K 130 7
                                    

Baca lebih dulu bisa di Karya Karsa aku ya part-nya sudah lebih banyak, link ada di bio atau bisa dicari username katatiwi. Terima kasih supportnya.

Enjoy!

---

Masa perkuliahan sudah berjalan lebih dari tiga bulan. Vanka sudah mulai menikmati kelas-kelas yang ia ambil. Perlahan dirinya juga mulai terbuka untuk mengobrol dengan banyak orang di kelas yang ia ikuti.

Bertemu banyak orang dengan karakter dan latar belakang yang berbeda membuat Vanka merasa lebih bersemangat. Pilihannya untuk menerima anjuran ayahnya mengambil pendidikan lagi ternyata tidak terlalu buruk.

Vanka mulai menyukai kegiatannya. Terlebih kegiatan sore menunggu jemputan di halte  dan bertemu dengan salah satu dosennya yang kabarnya masih sangat muda.

Dosen yang sebulan belakangan ini jarang ia lihat di lingkungan kampus. Namun seolah sudah diatur, baru saja Vanka duduk laki-laki itu datang dan ikut menghempaskan tubuh di bangku panjang itu. Dengan jarak yang selalu sama tiap mereka bertemu.

"Kalo haltenya bisa ngomong pasti dia bosen lihat kita ketemu terus,"

Vanka tersenyum kecil mendengar seloroh itu. Ia menoleh lalu meneliti wajah pria itu. Tampak lebih rapi dengan potongan rambut baru namun terlihat jauh lebih lelah.

"Saya jarang lihat kamu di kampus."

Bumi menoleh lantas mengangguk acuh. "Kita hanya akan ketemu di dua mata kuliah aja. Ekonomi Makro dan Ekonomi Mikro. Makro juga cuman sampe bulan depan, Bu Dian udah selesai cuti."

"Kenapa?"

Dahi Bumi langsung berlipat. "Apanya?"

Vanka langsung mengalihkan pandangan dengan canggung. Tidak ingin terlihat tak rela jika pria itu tak lagi mengajar di kelasnya. Ia akhirnya menunduk menatap ujung sepatunya.

Bumi juga tidak membalas lagi. Ia mendongakkan kepala menatap langit yang menggelap. Hanya diam saat sebuah bis berhenti di hadapan mereka.

"Bis kamu udah lewat,"ucap Vanka pelan. Membuat Bumi kembali menoleh lalu tersenyum. Ia mengangguk setelahnya.

"Kenapa?"

Pertanyaam rancu itu membuat Bumi akhirnya terkekeh pelan. "Pertanyaan kamu itu kenapa untuk yang mana? Saya gak ngajar lagi atau saya biarin bis nya lewat?"

Vanka mengerucutkan bibirnya. "Dua-duanya,"

Suaranya yang terdengar gemas membuat Bumi kembali tergelak. Ia menyugar rambutnya sebelum menyandarkan punggung. Kembali menatap langit.

"Soalnya saya udah punya pekerjaan tetap. Job jadi asisten mulai saya kurangi. Kecuali dosen pengganti."

Vanka menatapnya bingung. "Bukannya kamu pernah bilang di kelas kalo jadi dosen itu cita-cita kamu sejak dulu? Katanya kamu suka mengulik dan menciptakan teori baru?"

Tangan Bumi terangkat. Mengetuk pelan kepala Vanka sebelum berucap. "Ternyata kamu dengerin saya kalo di kelas. Saya pikir kerjaan kamu cuma ngelamun atau dengerin temen kamu yang cerewet itu."

Diledek begitu membuat Vanka langsung menunduk malu. Ia tidak lagi menatap Bumi yang kini masih bisa dipastikan tengah memasang senyum tengil padanya.

"Lagipula, berapa persen orang di Indonesia yang bisa bekerja sesuai passion-nya? Seringkali keinginan akan kalah sama kebutuhan. Tekanan keadaan akan cenderung membuat kita gak punya pilihan."

Kalimat itu diucapkan dengan datar namun membuat Vanka kembali menolehkan kepala. Matanya lalu bertatapan dengan Bumi yang walaupun masih bersandar namun menelengkan kepala ke arahnya.

"Jadi kamu menyerah?"

Bumi mengedikkan bahu. "Menyerah atas apa? Saya kerja senin sampai jumat. Sabtu atau kadang minggu saya masih bisa ambil kelas seperti hari ini. Saya hanya mencoba realistis."

Vanka tergugu. Tidak lagi bisa mengeluarkan kata-kata.

"Suatu saat kamu akan paham. Bahwa apa yang kita inginkan gak harus kita dapatkan saat  itu juga. Dalam mimpi saya yang tertunda mungkin ada mimpi-mimpi lain yang terwujud. Selalu ada dua sisi dalam segala hal."

Bagaimana laki-laki tampak begitu bijak menanggapi semua hal. Tidakkah ia merasakan kesedihan atas mimpinya yang harus terkubur?

"Pantas nama kamu Chandrika."

Bumi menangkat alisnya. "Memangnya kamu tahu artinya?"

"Sinar bulan kan?"

"Sinar bulan yang menyinari bumi. Bumi Chandrika."

"Wow."

Bumi tergelak. "Orang tua saya memang puitis. Suka ngasih nama-nama unik buat anak-anaknya. Katanya karna mereka ketemunya di Banda Neira sewaktu bapak saya jadi relawan."

Mata Vanka membola. "Jangan bilang saudara kamu namanya langit?"

Masih dengan tawa, Bumi menggeleng. "Kurang tepat. Nama mereka Bulan dan Bintang."

Untuk pertama kalinya sejak berbulan-bulan yang lalu, tawa meluncur dari bibir Vanka. Ia mengusap ujung matanya yang basah mencoba menahan diri agar Bumi tidak merasa ditertawakan. Namun laki-laki itu justru ikut tertawa.

"Semoga nama saudara kamu bukan asam dan garam, ya."selorohnya membuat tawa Vanka semakin tidak terkendali. Mengocok perutnya atas candaan receh hanya karna sebuah nama. Semoga saja ledekan itu idak sampai di telinga yang punya nama.

---

Bumi mengangkat alis menatap Vanka yang berdiri canggung. Melirik semua tempat yang penuh dengan orang. Tadi setelah menertawakan nama mereka, perut Vanka tiba-tiba berbunyi sebagai alarm perlu di isi. Bumi tanpa berpikir mengajaknya untuk makan di tenda mie ayam yang tak jauh dari halte.

Vanka langsung menganggukkan kepala menyambut ajakan itu. Tidak ia sangka bahwa tenda mie ayam ini benar-benar hanya sebuah gerobak pinggir jalan dengan tenda kecil di bagian depannya.

Para pembeli tampak menikmati mie dalam mangkuk itu sambil lesehan, duduk di trotoar atau pada kursi-kursi plastik yang disediakan.

"Kenapa?"

Vanka tampak ragu-ragu. Ia menatap ujung kakinya sebelum berbisik pelan. "Saya gak bisa jongkok atau duduk lesehan."

Bumi tergelak. Lalu mengangguk singkat. Mengambil sebuah kursi plastik lalu menaruhnya di belakang Vanka.

"Duduk disini dulu. Saya pesenin."

Bumi lalu meninggalkannya sendirian. Berdiri di samping gerobak untuk antri memesan. Yang tidak lama kemudian, laki-laki itu datang dengan dua mangkok mie ayam. Lengkap dengan teh botol dingin.

Tanpa canggung, Bumi lalu mengambil tempat di trotoar samping Vanka. Mengulurkan satu pada gadis itu sedangkan satu untuknya.

Sekejap mata, mie ayam dalam mangkok milik Bumi langsung hilang. Berpindah seluruhnya dalam perut laki-laki itu. Sedang Vanka masih kesusahan untuk duduk nyaman sembari memegang mangkok pada di tangannya yang berulang kali ia taruh di atas paha.

Melihat kecanggungan itu, Bumi mengulum senyum. Penuh pengertian ia mengambil alih mangkok milik Vanka, memegangnya dekat dengan dada gadis sehingga Vanka tidak perlu menunduk terlalu rendah.

"Saya pegangin."ucapnya ringan. Tidak tahu bahwa sikapnya itu membuat Vanka tidak percaya. Bumi tidak meledeknya. Tidak juga bertanya atau menertawakan tingkahnya yang aneh.

Alih-alih demikian, Bumi justru memegangi mangkok yang masih panas itu dengan tangan kirinya. Sedang tangan kanan laki-laki itu berkali-kali menarik rambut Vanka yang hampir masuk ke dalam mangkok. Atau sesekali mengulurkan teh botol dengan sedotan ke arahnya.

"Kamu belum pernah makan begini ya?"tanyanya ringan. Tanpa nada memojokkan. Vanka hanya mengangguk malu. Tidak tahu harus menanggapi seperti apa.

---

Modus ae lu bumbum

Love

--aku

Imperfect Princess [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang