Baca lebih dulu bisa di Karya Karsa aku ya part-nya sudah lebih banyak, link ada di bio atau bisa dicari username katatiwi. Terima kasih supportnya.
Enjoy!
---
Keadaan langsung kacau balau. Bumi mengangkat tangan pertanda menyerah membuat sebagian orang berseru marah. Setengah lagi tampak lebih penasaran dengan sosok yang baru muncul malam itu.
Keluar dari ring, Bumi berlari menerobos orang-orang menuju Vanka. Berjongkok di hadapan gadis itu menatapnya sebentar. Tanpa kata, tanpa aba-aba, ia meraih tubuh Vanka. Menarik turun rok coklat tua itu sebelum menyelipkan tangan di punggung dan paha Vanka. Untuk selanjutnya ia bawa dalam gendongan.
Mengabaikan tatapan juga bisikan dari orang-orang sekitar, Bumi masuk ke pintu yang ditutupi kain hitam dengan tulisan "staff only" di bagian atasnya.
Ternyata ruangan itu adalah tenpat loker berjejer dengan beberapa bangku panjang di antaranya. Ruangannya tidak begitu terang, karena ketika mendongak Vanka hanya melihat beberapa lampu yang menyala.
Di depan sebuah loker, Bumi menurunkan tubuhnya. Merapikan jaket dan topi yang dikenakan oleh Vanka, lalu menarik turun roknya hingga bawah. Hingga tidak lagi tersingkap.
Laki-laki itu lalu terdiam beberapa saat. Berjongkok tanpa suara di hadapannya hingga akhirnya menghela napas panjang sebelum bangkit berdiri.
Vanka mengangkat kepalanya, ia mengamati punggung bumi yang membelakanginya. Punggung itu tampak kekar dengan beberapa otot yang menonjol di sana.
Laki-laki itu membuka sebuah loker, mengambil kaos dari dalam sana dan sebuah celana jeans panjang. Tanpa harus repot-repot berpindah tempat, ia langsung menggunakannya di hadapan Vanka yang membuat gadis itu langsung menunduk malu.
Tidak percaya bahwa laki-laki di hadapannya sedang berganti pakaian tanpa canggung. Sesaat perasaan asing mulai menjalari Vanka tanpa permisi.
Setelah beberapa menit, Bumi lalu duduk di samping Vanka. Tidak berniat untuk memalingkan wajah menatap sang gadis yang masih menunduk.
"Kamu pasti banyak pertanyaan saat ini,"
Vanka berdehem. Sebelum membalas dengan bisikan yang lebih lirih. "Kamu pasti lebih banyak,"
Bumi mengangguk-anggukkan kepalanya. Kedua sikutnya bertumpu di paha, melepas kain yang sedari tadi masih membebat kedua tangannya.
"Go on. Kamu boleh bertanya apa aja."
Vanka lantas menggeleng pelan. "Kamu sepertinya tidak dalam kondisi ingin mengobrol. Saya--"ia kembali berdehem."--saya pulang saja."
Permintaan itu diangguki oleh Bumi terlalu cepat. Gestur yang diterima Vanka sebagai sebuah penolakan membuatnya meringis dalam hati.
Pun dia penasaran dengan hidup Bumi, ia tidak akan punya tempat untuk mengisi posisi di dalamnya. Apalagi ketika laki-laki itu sudah melihat dirinya malam ini. Vanka menyadari dirinya tidak akan bisa diterima seperti sebelumnya.
Siapa yang mau repot-repot untuk kenal dan berteman dengan gadis cacat sepertinya. Tidak ada yang menguntungkan justru hanya akan merepotkan.
"Saya boleh pinjam handphone kamu?"
Dengan ragu, Bumi mengulurkan benda pipih itu. Diterima dengan Vanka dengan tangan gemetar, ia lalu men-dial sebuah nomor sebelum ditempelkan di telinganya. Menunggu dengan risau untuk respon pertama kali yang akan didengar.
"Pick me up, now."
Hanya empat kata itu. Vanka langsung memutuskan panggilan. Mengembalikan ponsel Bumi kepada pemiliknya. Ia melangkah pelan menuju pintu keluar diikuti Bumi tanpa suara dari belakang.
Tidak seperti waktu mereka datang penuh cerita dan terasa menyenangkan, perjalanan yang tidak memakan waktu sepuluh menit itu terasa sangat dingin. Lama dan juga mencekam. Jika sebelumnya Bumi melangkah ringan di sebelah Vanka, kali ini laki-laki itu memilih untuk berjalan satu langkah di belakangnya. Menunduk menatapi langkah Vanka yang hati-hati.
Ketika sampai di sebuah halte, Vanka mendongak. "Kamu boleh pergi. Terima kasih."
Bumi menyadari bahwa ia sudah diusir. Dengan kalem, ia mengeluarkan tas Vanka dari dalam ranselnya. Mengulurkan pada gadis yang kini tengah membuka jaket dan topi miliknya. Tidak ada lagi kalimat. Vanka menganggukkan kepala sopan, lalu melangkah menuju bangku halte paling ujung untuk duduk disana. Meninggalkan Bumi yang masih berdiri mematung di tempatnya.
Akan tidak sopan jika ia meninggalkan Vanka begitu saja, jadi laki-laki itu memilih untuk duduk di bangku yang sama. Di ujung yang satunya. Tidak mungkin ia meninggalkan gadis itu seorang diri menunggu siapa yang entah akan menjemput.
Angin berhembus lembut malam itu. Bumi menatap jalanan yang mulai lengang di hadapannya. Sebenarnya ia sangat penasaran dengan gadis yang sedari tadi hanya menunduk menatapi ujung sepatu. Kebiasaan yang kini ia pahami.
Siapa orang yang tadi dihubungi oleh Vanka, tidak ada kalimat yang lebih jelas untuk menunjukkan lokasi mereka saat ini. Bagaimana seseorang yang menerima panggilan di tengah malam tahu harus menuju mana untuk menjemputnya yang justru tidak ia mengerti.
Kebingungan itu terjawab ketika tiba-tiba tiga buah mobil berhenti di hadapan mereka. Dari bangku penumpang di ketiga mobil keluar enam orang laki-laki tegap dengan pakaian serba hitam dan jas yang berpotongan sama. Lantas dari mobil yang berada di tengah, seorang laki-laki berpakaian kasual turun dengan wajah menahan emosi.
Kakinya melangkah lebar-lebar menuju Vanka sebelum berlutut di hadapannya.
"Ada yang sakit?"
Vanka menggeleng pelan. Kedua tangannya terulur lalu melingkari leher sang pria. Membenamkan wajahnya di bahu yang tegap itu.
"Handphone-ku hilang. Aku tadi nyoba pulang pake bis, tapi malah kesasar."
"Udah ketemu. Ada di tukang parkir depan kampus, katanya nemu di halte bis. Seperti sengaja ditinggal di sana."
Telinga Bumi tegak sempurna mendengar kalimat setengah bohong dari gadis itu. Terlebih balasan setelahnya. Tapi ia menahan diri. Ia tidak mungkin tiba-tiba ikut campur dalam pembicaraan itu. Wajahnya langsung tegang ketika tatapan tajam sang pria tiba-tiba terarah padanya.
Bisikan Vanka membuat sang pria kembali menoleh, ia mengangguk kecil. Mengangkat tubuhnya ringan seolah tanpa beban. Mengedikkan bahu pada salah satu pria berpakaian hitam untuk mengambil tas Vanka. Pintu bagian belakang langsung dibuka, Vanka dibawa masuk dan pintu kembali ditutup.
Hingga ketiga mobil hitam metalic itu hilang dari pandangan, sebuah pertanyaan kembali menggantung di kepala Bumi.
Siapa gadis itu sebenarnya?
---
love
--aku
KAMU SEDANG MEMBACA
Imperfect Princess [FIN]
DragosteApa yang paling penting dari sebuah kehidupan? Apa yang paling bermakna dari sebuah pencapaian? Proses. Unsur. Hara. Tidak ada yang jauh lebih penting dari setiap molekul yang membentuk sebuah proses hingga mampu bergerak menjadi kehidupan. Bergerak...